31/08/09

Kudus

Kabupaten Kudus Tercinta

Haa...betapa cintanya aku ma kabupaten Kudus (iya, Kudus itu kabupaten saudara-saudara, bukan kota...). Tapi berhubung orang Indonesia sukanya membuat segala sesuatu jadi simpel, ya udah lah disebut aja kota Kudus, kota Kudus gitu...ya uwis lah. Dikutho-kuthokke (dikota-kota-kan, Red). Walopun menurutku rasanya kayak sedikit ngaku-ngaku. Biarpun kabupaten, Kudus kan damai dan makmur. Sugih! Tau nggak lo??? (bahh...sok banget, hehehe). So, pede aja...

Kudus itu di Jawa Tengah, di daerah Pantura alias Pantai Utara Jawa. Buka atlas pulau Jawa deh kalo nggak ngerti. Ato tanya aja ma Om Google sana. Pas dulu awal masuk kuliah ada tuh temen-temen yang nggak ngerti Kudus itu dimana. Hiks-hiks...mungkin kalian juga nggak ngerti?? Wah, piye to...oke oke, kali ini saya nggak akan menghakimi anda (ngapain juga?). Akan saya berikan sedikit clue. Tau ROKOK cap Djarum nggak? Yang sekarang variannya macem-macem. Ada Djarum 76, Djarum Black, banyak deh. Iklannya kreatif-kreatif banget. Eits, saya bukan perokok ya (dan sebagai calon farmasis saya sama sekali NGGAK merekomendasikan anda untuk merokok). Nahh! Perusahaan rokok Djarum itu ya di Kudus!

Selain Djarum, bertebaran juga banyaak perusahaan rokok lain di Kudus, misalnya Sukun, Djamboe Bol, Nojorono, dan lain-lain (yang ngrokok pasti apal deh, hayooo...). Itu yang perusahaan menengah ke atas. Yang kelas teri? Jelas lebih banyak. Malah ada tuh istilah “rokok tingwe” alias rokok “nglinting dhewe”. Artinya melinting (tembakau) sendiri (jadi rokok, buat dikonsumsi sendiri biasanya). Di deket rumahku ada satu perusahaan rokok juga. Perusahaan kecil sih. Tapi bener-bener memberdayakan masyarakat lho. Buktinya semua perusahaan rokok itu, dari yang kelas hiu sampe kelas plankton, sanggup menyerap 100 ribu karyawan. Oh wow, buat sebuah kabupaten kecil tentu aja jumlah segitu luar biasa. Walaupun aku takut juga waktu dulu katanya rokok mau difatwa haram. Oh no! Mau dikemanain karyawan sebanyak itu? Oh iya, secara rokok itu dikenai cukai oleh pemerintah, maka kabupaten Kudus mampu menyumbangkan 50 triliun rupiah kepada APBN 2009. Hahaha...makanya udah bilang kan tadi diatas, Kudus iku cilik-cilik sugih (Kudus itu kecil-kecil kaya). So, be proud to be a Kudusian!

Eh iya, ternyata nggak cuma perusahaan rokok aja yang ada di Kudus. Di Kudus ada PURA, perusahaan kertas terbesar se-Asia Tenggara sampai saat ini. Inget duit 100 ribuan yang terbuat dari plastik itu? yang ada kembangnya warna pink tua itu lho. Itu dicetak di Pura. Kalo lewat di depan salah satu bangunannya Pura yang deket terminal Jati itu, wah, futuristik! Dengan lampu-lampu dan sebagainya. Keren. Dengan adanya pabrik-pabrik rokok dan kertas, resmilah Kudus sebagai kota industri. Di deket (ya nggak deket-deket amat sih) rumahku, ada pabrik gula. Terus ini nih yang makin maju. Industri konveksi rumahan! Jumlahnya banyaak banget. Menghasilkan beraneka pakaian (sekarang banyaknya kerudung) dengan mutu yang bervariasi banget. Istilahnya, dari yang murahan sampai alusan ada. Produk-produk itu bisa ditemui di Pasar Kliwon (katanya sering dijadiin sentra kulakan para pedagang dari luar kota juga). Asyik lho, belanja kerudung di Pasar Kliwon. Toko-tokonya, ditata lumayan rapi untuk ukuran sebuah pasar yang selalu rame. Dan kalo bisa nawar, insyaallah nggak bakal kecewa.

Enough talking ‘bout the industry, sekarang mari bercerita tentang keindahan kota Kudus. Di sebelah utara, ada Gunung Muria, yang kawasan wisatanya dinamakan Colo. Disana juga ada makam Sunan Muria, salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa. Udaranya sejuk (walaupun gunungnya sendiri nggak begitu tinggi) dan lumayan tenang, soalnya wisatawannya nggak terlalu rame. Ada air terjunnya juga! Ada pemancingannya...oh, udah lama banget aku nggak main kesana. Di pemancingan, selain bakar ikan kita juga bisa makan PECEL DAUN PAKIS (pakis=tanaman paku-pakuan, mostly semanggi, Marsillea crenata). Disini kita juga bisa lihat Kudus dari atas. Di Colo ada Bengkel Seni Takim, patut dikunjungi para pecinta seni sejati. Eh iya, buat ibu-ibu yang lagi mengandung, bisa beli dan mengkonsumsi “parijoto” (bener nggak ya nulisnya?) di Colo. Denger-denger, kalo pas hamil makan ini ntar anaknya cakep. Hihihi...belum teruji secara klinis sih. Aku sebenernya pingin nguji, tapi kan harus diuji pre-klinis ke mencit dulu. Nah, ini yang susah. Gimana caranya membedakan mencit yang cakep (karena induknya dipapar parijoto saat hamil) dan mencit yang biasa aja (karena tidak dipapar parijoto)?

Selain itu, buat ente-ente yang beragama Islam, sempatkanlah mengunjungi masjid Menara Kudus, simbol kota Kudus. Disitu ada makamnya Sunan Kudus. Menaranya konon adalah hasil dari perpaduan berbagai budaya yang ada di Kudus. Rumah-rumah di sekitar masjid ini unik-unik lho, antik-antik piye...gitu (lha piye?). Eh iya, sampe sekarang kalo Idul Adha masyarakat Kudus tuh nyembelihnya kambing dan kerbau. Sapi kan binatang yang suci buat pemeluk Hindu, so Sunan Kudus (penyebar agama Islam di Kudus) menyuruh kita menghormati kepercayaan itu dengan tidak menyembelih sapi. Ajaran itu masih ada sampai sekarang.

Makanan khas? Buat oleh-oleh kalo dari Kudus, biasanya orang-orang beli jenang Kudus. Makanan manis dari tepung ketan, kelapa, dan gula jawa. Kayak dodol tapi lebih kenyal dan nggak asam sama sekali. Kalo makanan “berat”, ada lentog (udah pernah saya tulis di postingan tersendiri), soto Kudus, garang asem, dan nasi pindang (ini dari daging merah lho, bukan dari ikan). Semuanya pas di lidah saya, kecuali jenang..nggak tahu kenapa, saya agak kurang sreg dengan kemanisannya itu (sori-sori buat para penggemar jenang). Tapi jenang adalah tentengan wajib buat para sanak saudara dan handai tolan (halah!) kalo kita pergi ke luar kota. Eh, ada satu lagi ding, roti duren! Enak. Rotinya bunder-bunder dan rasanya duren banget. Berhubung aku penggemar duren ya aku suka, hehehe. Ngomong-ngomong, jadi inget para bakul (pedagang, red) duren yang mangkal di Durian Street (dari Proliman belok ke selatan). Mantep banget kalo lewat situ, aroma duren menyerbak dan bikin kepingin, hihihi.

Kudus itu kota kecil. Literally! Denger-denger, Kudus itu kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Kayaknya sih bener. Kalo lagi di Kudus, mau kemana-mana, selama masih berada dalam jangkauan wilayah kabupaten Kudus, rasanya deket. Misalnya dari rumahku ke terminal, dari terminal ke pasar, bahkan dari rumahku sampe gunung Muria aja rasanya deket. Daripada dari rumahku sampe Gunung Merapi, hayoo? (Ya iyaaalah...). Maklum, soalnya ya itu tadi, wilayahnya kecil. Akibatnya, kalo aku keluar kota, mau kemana-mana kerasa jauh. Misalnya kalo mau ke rumah Eyang di Semarang, kan naik bus sampai terminal Terboyo tuh. Nah, dari Terboyo sampai Banyumanik, ya Allah lama banget....malah kayaknya lebih lama dari perjalanan antar kotanya sendiri. Iya sih, Terboyo-Banyumanik itu adalah “Semarang Ujung ke Ujung”. Tapi kalo di Kudus, “Kudus Ujung ke Ujung” itu jauh, jauh lebih singkat. Coba aja berangkat dari terminal Kudus (di Jati) sampe Jekulo sono (yang berbatasan dengan Pati). Nggak membutuhkan waktu selama itu. Begitu juga kalo di Yogya. Ya begitulah resikonya tinggal di kota kecil. Eh, maksudku kabupaten kecil.

Di Koran Kompas pernah ada artikel tentang wajah Kudus sekarang. Diceritain kalo sekarang Kudus itu penuh dengan ruko. Emang bener sih. Di tiap pinggir jalan yang rada gede dikit, ruko. Di deket sekolahan, ruko. Di tanah kosong, mau dibangun ruko. Ruko, ruko, dan ruko mulu. Sampai-sampai udah merambah di deket rumahku. Ada ruko juga! Haduh, bisa-bisa Kudus bukannya kota industri lagi, tapi kota ruko. Mungkin keberadaan ruko karena daya beli Kudusian yang meningkat. Tapi dampaknya? kebanyakan ruko dan sedikit industri berarti kita nggak bisa memproduksi tapi terus mengkonsumsi. Ruwet. Selain ruko, di Kudus juga udah ada 3 pusat perbelanjaan yang katanya modern (inisial M, R, dan A). Belum lagi minimarket-minimarket yang makin menggusur warung-warung kecil. Belum lagi pasar Kliwon, hihihi. Wah, gimana nggak makin konsumtif aja tuh para Kudusian? Walaupun sedikit bikin bangga sih, soalnya kan katanya (entah katanya siapa) kalo punya banyak perbelanjaan modern alias mol itu modern, hihihi. Soalnya dari beberapa kabupaten yang pernah saya kunjungi, wah, kayaknya Kudus di atas angin dalam hal perekonomian. Tapi orang-orang Kudus (Kudusian kalo saya nyebutnya, awas kalo diplesetin) bukan orang-orang yang snob kok, kecuali yang emang dasarnya snob (halah! Wis ngerti aku).

Jadi menurutku Kudus tuh kabupaten yang sedang memajukan diri tapi masih kentel sifat-sifat khas orang dari kota kecil di Jawa. Misalnya :

  • Masih ewuh-ewuh, yah masih adat ketimuran lah
  • Logatnya kentel. Kalo orang Kudus, kalo ngomong ada question tag-nya, “tah”. Misalnya “opo?” jadi “opo TAH?”. Jangan lupa ngomongnya sambil sedikit mengerutkan kening, nah, begitu, mulut terbuka sedikit, yap, sudah betul. Biarpun ente-ente menganggapnya ndeso bin katrok tapi saya akan terus memakainya, hahaha. Ngapain juga malu akan dialek itu. Jaga gengsi? Gengsine sopo? Malah bangga dan bisa memotivasi dong. Jangan-jangan suatu saat ada ilmuwan ngetop bertaraf internasional dari Indonesia yang ternyata berdialek Kudus. Lha sapa ngerti? Iso wae to? (siapa tahu? Bisa jadi, kan? – red). Heran juga, aku sama orang tua dibiasain bahasa Indonesia tapi kok begitu keluar rumah luntur semua ya ajarannya. Beginilah peer pressure akibat dari bergaul mbek konco-koncoku (temen-temenku) di Kudus sono yang notabene njawanine pol nek ngomong (Jawa banget kalau berbicara, red). Hehehe...piss!
  • Sebagian besar penduduknya juga masih sarapan pake nasi (bukan pake roti, pasta, atau sereal kayak orang kaya di kota besar). Penduduknya belom keranjingan makanan cepet. Nagapain juga cepet, ha wong masak alon-alon biar sehat juga bisa kok. Tekanan hidup nggak segede di kota besar kali. Yang ibu-ibunya nggak sempet masak (terus kenapa nggak mempekerjakan pembantu, biar bisa dimasakin?). Alhamdulillah meskipun ibuku wanita karir, masih sempet masak makanan sehat buat kita-kita sekeluarga.
  • Di kampung sering banget diadain selametan (kendurian, syukuran, you name it). Bayi baru lahir, selametan. Bayi puputan (lepas tali pusernya), selametan. Sunatan? Nikahan?, selametan juga (walaupun udah menggelar resepsi di gedung mewah juga). Yang diundang bapak atau laki-laki di rumah, terus pulangnya dibawain nasi gurih+ayam kampung...enak banget. Tetanggaku ada tuh yang hobi ngadain selametan, namanya bu Sakem dan pakde Sukoyo. Ayamnya enak banget. Dibumbu kayak opor tapi santannya encer.
  • Orang-orang yang baru ketemu (apalagi kalo udah dewasa) ngobrolnya masih pake bahasa Jawa Krama. Nawar di toko juga pake bahasa Krama. Pokoknya Javanese everywhere deh. Paling di mol-mol tuh mbak SPGnya pake bahasa Indonesia. Tapi kalo ada orang yang nggak bisa Javanese ya pake bahasa Indonesia lah, atau bahasa Inggris (weleh, nggaya banget, nggak ding! Kecuali kalo udah bisa bahasa Inggris trus ketemu bule)
  • Nah ini nih...kalo di sekolahan dan main sama temen, ngomongnya bisa bebas pake basa Jawa sengoko-ngokonya! Aw...how I miss it! Rasanya kepribadianku bener-bener keluar kalo diekspresikan dengan media bahasa Jawa Ngoko, hahaha. Palingan kalo sms-an, pakenya aku-kamu. Bukan elo-gue.

Kudus, cukup kemewahan untuk dipakai sebagai tempat berfoya-foya. Cukup sederhana buat dipakai tempat hidup sederhana. Maksude? Gini lho, kalo kita mau hidup mewah di Kudus, bisa (asal duitnya ada). Nginep aja tiap malem di hotel Griptha itu. Mewah to...terus tiap hari keramas di salon, makan di Kenari atau Garuda, naiknya mobil mewah. Tenang, kita-kita nggak bakal sirik kok. Tapi kalau mau hidup apa adanya juga bisa. Kudus kan kabupaten, jadi palingan biaya hidupnya nggak sebegitu besar kalo dibandingin ma kota besar.

Ah, Kudus. Tempat dimana aku selalu dan ingin selalu pulang. Walaupun udah kerja di kutub utara sekalipun! Aku yakin anda-anda juga bangga dengan kabupaten or kota anda, seperti aku bangga pada Kudus. Harus lah! Jangan menafikan identitas asli anda, mentang-mentang udah merantau ke kota besar, udah kaya, udah sukses, dan udah-udah yang lainnya. Banggalah akan ke’medhok’-an dialek anda (aduh, medhok bahasa Indonesianya apa ya? Masa ‘mateng’ sih?). Aja digawe-gawe (jangan dibuat-buat, Red). Ntar kalo orang seluruh Indonesia menghilangkan dialeknya masing-masing, nggak beragam lagi dong kita-kita. Hihihi.







p.s :

Wait-wait...kayaknya kok postingan ini jadi kayak promosi wisata ya? Ah, nggak apa-apa deh, aku ikhlas kok meskipun enggak dibayar. Buat Kudus...hehehe.


Keterangan

bahasa Jawa krama : Tingkatan bahasa Jawa tinggi, bahasa Jawa halus, dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, yang dihormati, pada Tuhan, atau pada orang yang baru dikenal (yang seumur atau lebih tua)

bahasa Jawa ngoko : Tingkatan bahasa Jawa rendah, bahasa Jawa kasar, dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih muda atau sebaya (yang sudah akrab), dan pada diri sendiri.



27/08/09

Ibu dan Bapakku

Ya Allah, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku...

Doa yang sama, doa yang itu-itu aja, yang selalu kuucap sehabis salat dan kadang-kadang saat sujud.

Doa buat kedua orang yang paling aku cintai saat ini.

Kedua orang yang, biologically, masing-masing menyumbangkan setengah genomnya sehingga saat kedua “paronan” (setengah, red) genom itu bersatu, atas izin Allah terbentuklah makhluk bergenom 22XX bernama ****** ************ alias Liong (maklum, tadi pagi habis kuliah biologi molekuler).

Kedua orang yang, psychologically, punya andil besar dalam membentuk kepribadian, prinsip, dan kecerdasanku jadi seperti ini. Dari melihat cara mereka bersikap, aku belajar berperilaku.

Kedua orang yang, economically, masih menanggung seluruh biaya hidupku.

Kedua orang yang dipercaya Allah untuk membesarkanku.

Kedua orang yang terketik sebagai “pasangan suami istri sah” di akta kelahiranku.

Kedua orang yang paling mencintaiku dengan cinta tertulus yang bisa diberikan seorang manusia, bahkan sebelum aku ada di dunia ini.

Kedua orang yang lebih menderita dari aku saat aku sakit.

Kedua orang yang menjadi guru pertamaku. Yang mengenalkanku pada dunia ini dan mengajariku bagaimana menghadapi itu semua.

Yang selalu kuajak bermain saat aku kecil, diantara kesibukan mereka. Yang membujukku agar berhenti menangis. Yang selalu memastikan aku berbahagia dan aman sekaligus, setiap saat.

Kedua orang yang telah dan terus berusaha mengerti setiap tingkah lakuku. Yang tidak protes saat aku batal pulang kampung sesuai waktu yang sudah kujanjikan sendiri. Yang selalu memaklumi dan memaafkanku. Yang berkata “tidak apa-apa” saat nilaiku turun drastis. Yang tidak marah saat ulanganku gagal. Yang tersenyum padaku bahkan saat aku tidak bisa tersenyum untuk diriku sendiri.

Ibuku, orang yang melahirkanku. Memberiku makan dan perlindungan bahkan sebelum aku lahir. Memasak dan mengurus rumah tiap hari (padahal bekerja di kantor juga). Yang membantuku mengerjakan pekerjaan rumah dan membimbingku belajar di rumah saat aku SD. Yang menjagaku ketika aku bermain, agar aku tidak terluka. Yang memastikan aku makan dan tidur dengan baik. Yang selalu menyuruhku agar jangan ngoyo dalam belajar. Yang meneruskan pendidikan masternya sambil bekerja dan mengurus rumah, kemudian...lulus tepat waktu dengan gelar cum laude. Lambat laun, seiring bertambahnya umurku, beliau menjadi temanku. Yang bisa kuajak berjalan-jalan, bercerita. Aku bukan orang yang mudah membuka diri – andai saja aku begitu, pastilah lebih banyak lagi yang bisa kuceritakan. Orang yang mengajariku memasak, berdandan, membersihkan rumah, dan hal-hal praktis lainnya. Orang yang selalu, selalu, berusaha menyenangkanku. Yang menyisihkan makanannya untukku. Yang membelikanku aneka jajanan yang kusuka saat kami berbelanja. Yang menungguku dengan sabar sementara aku memilih-milih pakaian atau sepatu di mall. Yang mau menemaniku berjalan-jalan setelah seharian bekerja. Yang tetap tersenyum saat melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya jadi tugasku. Entah apa yang membuat wanita ini sedemikian sabar padaku. Ibu, aku begitu mencintaimu...

Bapakku, orang yang pertama kali mengumandangkan adzan dan iqomah di kehidupanku. Imam di keluargaku. Laki-laki paling penyayang yang pernah kutemui. Dalam diamnya, aku tahu ia menyayangiku. Yang mengantarkanku dengan motor kenangan kami, di hari pertama aku masuk TK. Yang mengajariku naik sepeda roda dua. Yang selalu menungguku selama paling tidak tiga puluh menit di pom bensin saat aku pulang dari Yogya naik bis, sebelumnya ia sudah membelikanku aneka roti yang kusenangi. Setelah aku naik di boncengannya, ia akan bertanya apa yang aku inginkan untuk makan malam. Yang mau mengantarkanku kemana saja, lalu pulangnya berkata “mbak Lia pingin dibelikan apa?”. Yang ikhlas bekerja keras seharian demi keluarga. Yang hobi mentraktir di tempat makan favoritku saat aku pulang kampung. Yang mengajariku membaca dan rajin membawaku ke toko buku saat aku kecil. Yang membuatku jadi seorang kutu buku dan alhamdulillah, jadi mampu membaca cepat. Yang mengajariku berbahasa Inggris dan memakai internet. Yang membelikanku beberapa ekor ayam saat aku kelas 5 SD, agar aku dan adikku berpengalaman memelihara hewan. Yang pernah mengajakku dan adikku main layang-layang sehabis pulang kerja. Yang mengantarku ke mantri saat jempolku terluka. Yang tidak keberatan menyapu, mengepel, menyetrika pakaian...yang selalu memastikan aku baik-baik saja. Yang memberiku beberapa prinsip yang masuk akal. Yang dahulu berusaha sekuat tenaga untuk kuliah, dan sekarang berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkanku...terima kasih bapak, aku begitu mencintaimu...

Aku sudah lupa kapan terakhir kali mereka marah padaku. Atau mungkin mereka memang tidak pernah marah padaku. Aku juga tidak ingat kapan mereka memaksaku, melarangku, tidak mempercayaiku, menuntutku, menghakimiku....

Yang aku ingat, setiap hari mereka menunjukkan kasih sayang mereka padaku.

*****

Allah menebarkan kasih sayangnya di muka bumi.

Dan, sebagai salah satu “jalur” kasih sayangnya untukku, Allah memilih ibu dan bapakku. Allah tidak pernah salah. Betapa beruntungnya aku bisa memiliki mereka sebagai orang tuaku. Betapa beruntungnya ibu memiliki bapak, dan sebaliknya, begitu beruntungnya bapak memiliki ibu.

Sekali lagi, betapa beruntungnya aku, dan adikku, memiliki mereka berdua.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, terima kasih ya Allah, segala puji bagiMu...

******

Tadi waktu menunggu salat Isya’ berjamaah dimulai, tiba-tiba selintas pikiran muncul di otakku. Muncul begitu saja, seperti lampu pijar yang tiba-tiba menyala dan tidak bisa dimatikan.

Pikiran itu adalah “betapa beruntungnya aku memiliki ibu dan bapakku. Juga adikku”.

Entah pikiran itu muncul dari hati yang bersih, atau justru dari setan yang ingin mengganggu kekhusyukan salatku, aku nggak tau. Tanpa terasa, pipiku basah. Bukan, aku bukan kangen berat sama mereka. Kalau kangen sih selalu, karena itu sebisa mungkin aku akan selalu pulang untuk mereka, dan untuk diriku sendiri. Tapi aku nangis bukan gara-gara itu. Tapi karena mengingat apa saja yang sudah mereka lakukan untukku. Semua yang kutuliskan diatas, belum apa-apa. Karena masih banyak lagi bukti cinta mereka padaku.

Lalu muncul satu pertanyaan “Terus apa yang sudah aku lakukan untuk mereka? Buang-buang duit? Habis-habisin beras? Atau apa?”.

Kenangan satu tahun lalu berputar. Saat aku diterima sebagai mahasiswa. Maaf, aku tekankan cerita ini bukan dimaksudkan untuk menyombong. Saat itu, tengah malam, jam 00.00 lebih sedikit, ibuku mengirim SMS ke content provider hasil UM UGM. Lalu datang SMS balasan yang menyatakan aku diterima. Aku terbangun mendengar kegembiraan mereka berdua. Bertiga kami mengucap syukur pada Allah. Mereka berterima kasih padaku, “makasih ya mbak, atas usaha mbak..”. Cara mereka menyayangiku sungguh unik. Seharusnya aku yang berterima kasih, atas dukungan doa, moril, dan materil dari mereka. Tapi, mereka malah berterima kasih padaku. Dan saat itu juga kegembiraanku, rasa lega yang ada padaku karena sudah diterima kuliah, mendadak kalah oleh kepuasan yang muncul karena melihat wajah mereka yang tampak sangat bahagia.

Lalu saat akhir semester 1 kemarin, saat alhamdulillah aku mendapat IP yang bagus. Tidak dapat diungkapkan betapa puas dan bersyukurnya aku melihat wajah mereka yang gembira. Mereka mengucapkan selamat dan terima kasih. Betapa seringnya mereka mengucapkan terima kasih padaku. Seolah hanya AKU lah yang menentukan segala kesuksesan yang terjadi. Mereka segera melupakan jasa mereka padaku. Itulah contoh cara hidup yang tidak pernah mereka ucapkan secara gamblang - namun dari cara mereka memperlakukanku, aku belajar agar sebaiknya kita tidak membesar-besarkan apa yang sudah kita berikan pada orang lain. Kemudian ketika akhir semester 2, IPku turun cukup drastis, namun ketika aku mengucapkan maaf, mereka malah berkata tidak apa-apa. Kemudian kami melanjutkan segala sesuatu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Berapapun IPku, mereka tetap gembira menyambut kedatanganku, menanyakan kesehatanku...sungguh semua sikap itu berbicara lebih banyak dan lebih tegas daripada sekedar berjam-jam berkata-kata bahwa mereka cinta padaku. Dan cara mendidik seperti itu malah memacuku lebih keras untuk berusaha dengan maksimal di semester 3 ini. Aku pasti bisa mengembalikan prestasiku seperti semester 1 lalu. Amin...

Oh iya, satu lagi. Aku ingin lulus dengan gelar cum laude. Untuk pamer? Bukan. Buat apa? Aku ingin ibu dan bapakku, berpakaian resmi, mengapitku yang mengenakan toga dan selempang bertuliskan cum laude. Lalu seorang fotografer handal memotret kami. Lalu mereka mendengar namaku dipanggil. Mereka lebih dari pantas mendapat kebanggaan seperti itu. Aku ingin menjadi farmasis yang sukses. Aku harus berhasil dalam kehidupan ini. Aku ingin orang-orang tahu, mereka berhasil membesarkanku. Kalian pernah lihat sebuah iklan yang mengisahkan seorang arsitek yang diwawancarai banyak wartawan? Ia berkata “Kalau ingin tahu cara membesarkan arsitek, tanya bapak saya”. Ya, aku ingin juga berkata seperti itu. Siapa yang mau bertanya “Bagaimana cara membesarkan seorang farmasis?” ? dan aku akan berkata dengan mantap “Silakan tanya kepada ibu dan bapak saya”.

Ya Allah, berikanlah aku waktu dan kemampuan untuk membahagiakan orang tuaku, seperti mereka telah membahagiakanku. Amin ya rabbal ‘alamin.

Kamar kos,

Selasa 25 Agustus 2009

22.30 WIB

p.s. : Korban nulis postingan ini meliputi 1 buah kaos dan 4 lembar tisu buat menghapus air mataaa....hua....dasar berlebihan.

14/08/09

Ngenet di Komputer Pake Voucher GPRS Indosat

Nge-blog itu asyik ya?

Untuk diketahui, blog ini udah aku bikin bulan April lalu. Cuma nge-post dua tulisan, yang satunya juga “hanya” postingan pembuka. Sebenernya udah banyak, banyak banget ide buat dituangin dalam tulisan di blog, tapi addaa aja alesannya sehingga gagal. Huh. Aku juga heran, aku tu ngapain aja sih sehingga sampe nggak sempet. Jangan-jangan kalo ngenet aku buka Facebook mulu. Hihihi. Tapi kayaknya gara-gara aku emang jarang ngenet deh. Seminggu sekali aja udah untung (hha….ngenes banget). Walaupun sekali masuk warnet bisa berjam-jam. Melangkahkan kaki ke warnet itu lho yang susah (halah!).

Sekarang, aku nemuin cara baru buat ngenet, yaitu pake voucher internet Indosat. Enak nih, nggak usah berlangganan dan murah meriah banget, 250 menit cuma Rp 5.000,- Ya, kalo beli di deket rumah sekitar Rp 5.500-6000,- lah. Voucher ini ternyata nggak cuma bisa dipake buat ngenet di HP aja tapi bisa buat ngenet di komputer. Menurutku malah agak rugi deh ngenet pake indosat@durasi di HP. Mending pake pulsa biasa terus kita set biar gambarnya nggak usah ditampilin gitu, biar irit. Hihihi, dasar pelit.

Alat : Laptop atau desktop yang udah diinstalin PC suite (PC suitenya yang sesuai ya ma merek dan tipe HPnya), HP, voucher GPRS Indosat.

Cara kerjanya begini (dari tadi kok ada alat, cara kerja…emang ini lagi bikin laporan praktikum?) :

- Beli pulsa internet cap Indosat (ya iyalah…emang ada yang lain?). Yang 5 ribu itu lho

- Username dan password di setting internet connectivity (di HP) diganti jadi indosat@durasi

- Di lappie (or di desktop, ya pokoknya di komputer lah) yang udah diinstalin PC suite (berhubung HPku Sony Ericsson ya pake Sony Ericsson PC Suite, versi 3.2 klo nggak salah), kita periksa di bagian “Tools” ntar kan ada menu Internet Connection”. Nah, kita klik di kotak “advanced settings”, trus “manage your connection” kita klik yang “Indosat GPRS”. Nah, klik kanan, trus “properties”, lalu “identification”. Kita isi username dan passwordnya dengan indosat@durasi. Trus klik kanan lagi, dan pilih “Indosat GPRS” sebagai default connection. Oh iya, sebelum nglakuin langkah-langkah di poin nomer tiga ini, make sure HP kita udah nyambung sama PC. Bisa pake kabel data, Bluetooth, atau infrared. Aku sendiri pakai Bluetooth. Gampang kok caranya, tinggal klik “How to Connect” terus ikuti aja langkah-langkahnya.

- Terakhir, tinggal klik “Connect” di kotak dialognya. Tunggu beberapa saat sampe selesai. Enjoy the wireless connection, then!

Pertama bisa connect, wah….senengnya! Bangga banget. Padahal PC Suite aja diinstalin ma adikku. Huuu….thanks brother! Walaupun rada telat bantuannya dan sambil sedikit ngedumel, tapi thanks yah. Btw, kabel datanya mana dek? Hehehe...ya sudahlah, udah lumayan ini. Alhamdulillah laptopku ada bluetoothnya jadi bisa “ngobrol” ma HPku. So, nggak punya kabel data belum jadi masalah sampai sekarang.

Tapi setelah dicoba…

Haa….lemotnya! Lemotnya bikin….hah…untunglah aku masih sabar. Pertama-tama (tetep….) coba buka Facebook. Mau masuk ke berandanya aja lama…banget. Sampe-sampe network time out. Sabar…coba lagi. Yah gagal lagi. Coba lagi…gagal lagi.

Coba situs lain. Buat ngeliat nilai semester 2 (yang jeblok, hehehe). Masuk ke portal akademik (http://akademika.ugm.ac.id). Ternyata bisa. Dan lancar-lancar aja buat ngeliat nilai. Kok Facebook nggak bisa ya? Apa terlalu berat gitu? Masa sih. Ah, kecewa. 5000 rupiah buat 250 menit tapi cuma dapet dikit. Nggak bisa download-download. Aku coba disconnect trus connect lagi. Lumayan sih. Berhasil buka Facebook. Meskipun lemot.Nggak kayak di warnet.

Yang aku heran, adikku kok asyik-asyik aja pake voucher ini. Cepet juga kok aksesnya. Dia pake Nokia E51 dan kabel data. Dan dia pake desktop. Apa mungkin kelemotan akses ini adalah efek dari kelemotan laptopku ya? Kayaknya enggak deh, pernah aku ngenet di hotspot area, nggak ada bedanya tuh sama ngenet di warnet. Tetep cepet. Apa gara-gara pake Bluetooth ya? Emang ngaruh?

Tapi tetep lumayan lah bisa ngenet dimana-mana, dengan cuma bermodal laptop, hp, PC suite dan Rp 5.000,- buat ngenet selama 4 jam 10 menit. MurMer (murah meriah) euy. Dan yang lebih penting, nggak usah sering-sering ke warnet, kecuali kalo bener-bener perlu kecepatan (lagi balapan kali). Thanks Indosat. Walaupun aku masih berharap kecepatannya jadi lebih baik sih….



p.s. : wah, ngeliat cara kerjanya, kayaknya emang harus dibuat kayak klo lagi bikin cara kerja di laporan praktikum. Pake panah-panah ke bawah gitu. Lebih enak dilihat dan jelas! Hehehe

Breaking Down-The Review (sort of)

Awww...Breaking Down!

Dulu pertama kali novel ini rilis, aku nggak semangat beli maupun baca. Habis aku nggak begitu suka -novel ketiga dari Twilight Saga- Eclipse (ini menurutku lho, maaf buat para die hard fans Eclipse. Maaf!). Lagian Breaking Dawn, yang setelah diterjemahin di bahasa Indonesia jadi "Awal yang Baru", tu bukunya tebel banget. Lebih dari 800 halaman. Tepatnya 862 halaman. Males aku bacanya. Jadi setelah novel itu udah rilis dan orang-orang di sekitarku juga udah baca (bahkan mbak kosku nyeritain sinopsis singkatnya, cukup seru sih kayaknya tu novel...tapi aku tetep males. Hehehe), aku tetep cuek.

Nah, kemarin waktu berangkat ke Yogya buat SKS-an (berarti udah 3x balik ke Yogya selama liburan semester 2 yang lamanya 2 bulan ini), si Mita -temen sekelasku, and more than it, she's my close friend- minjemin bukunya ke aku. Dulu dia pernah pinjem 3 buku seri Twilight Saga punyaku, jadi katanya sekarang gantian dia yang minjemin....huhuhu...she really is an angel. Dia bahkan nganterin bukunya ke kosku, padahal kan aku yang butuh. Hwa...I lup u pull dah Mita (lho kok kayak mbah Surip gini yak?). Aku mulai pegang buku itu sehabis isya'. Waktu itu rada-rada bete sebel gitu. Tapi ini bete yang jelas, aku tau sebabnya. Dengan pasti. Ah, kenapa kenapa harus ada perasaan bete? Perasaan yang nggak produktif, setidaknya buat aku. Mending kalo betenya menghasilkan lagu-lagu hits kayak yang dilakukan para musisi. Atau buku-buku best seller. Hahaha. Maunya. Habis beteku cuma menghasilkan coretan-coretan nggak jelas di buku-buku, kertas-kertas, tisu-tisu...ada nggak ya yang mau nerbitin luapan hatiku jadi novel. Bisa kayak Andrea Hirata dong aku. Eh tapi enggak ah, aku nggak cukup berani mbayangin ada orang-orang yang aku kenal mendapati diri mereka dirasani olehku dan mendapati cerita mereka denganku dibaca oleh banyak orang (ih geer banget, kayak bener-bener udah ngerilis buku aja).

Pertama-tama cuma bolak-balik halaman novel itu doang. Eh, terus aku mulai membacanya dari halaman awal.

Terus...

Terus...

10 halaman...

20...

100...

100??? Lho, udah sebanyak itukah halaman yang sudah aku baca? Aku lupa sama sekali sama gitu aja bete sih? beteku yang tadi ada. Aku malah geli, kenapa tadi harus sebel? Hahaha...Amalia, Amalia. Aku belum makan. Ah, nggak peduli. Aku udah beli makan tadi waktu pulang dari kampus. Aku terusin baca. Kembali larut (kayak NaCl aja larut). Waktu liat jam, ya Allah udah hampir jam 9. Oke, harus makan dulu nih. Jangan sia-siain nikmat Allah berupa kesehatan ini! Selama dia masih mau nempel sama aku. Aku sadar aku sakit-prone. Sambil makan aku ngeliat hp. Beberapa sms dan 1 missed call. Smsnya dari ibuku semua, nanyain udah makan apa belum. Ups...sori, mum. Ini nggak akan sering-sering terjadi, palingan sekali dua kali kalo lagi baca novel bagus. Missed call....telepon permintaan maaf? Useless. Eh lupa, aku kan udah nggak sebel lagi.

Habis makan, lanjut lagi dong.

Ewww...seru banget novel ini. Terbagi dalam beberapa buku (lebih tepat beberapa bagian kali ya), kita diajak menyelami (di Bunaken kali menyelam?) perasaan-perasaan Bella dan Jacob.

Buku satu, Bella. Maksudnya berdasar sudut pandangnya Bella. Pertama-tama, ya, masih standar lah. Tentang kekikukan-kekikukan Bella, tapi lucu juga sih, waktu dia dan Edward minta restu Charlie buat nikah. Dan selanjutnya, ya Allah...it's so beautiful! Pas bagian pernikahan itu...pas bagian Bella berjalan menuju altar menghampiri Edward. Waktu rasanya lama sekali kalo kita akan melakukan sesuatu yang benar-benar kita inginkan, ya kan Bells? (kayak ngomong beneran ma Bella aja). Kalo nggak salah waktu itu Bella mikir betapa dia masih takjub setiap kali saling bertatapan dengan Edward, soalnya Edward menatapnya seolah-olah dia itu hadiah buat Edward (Edward keliatan terpesona banget kalo ngeliat dia kali ya). Padahal, dengan keminderannya, Bella tu selalu ngerasa dia adalah pemenang karena bersama Edward. Hoooo...tapi kayaknya udah pernah denger deh, kalo saling mencintai tuh masing-masing pihak ngerasa sebagai pemenang (mboh denger dari mana, kata-kata yang agak aneh. Dan yang lebih aneh lagi, setelah dipikir kata-kata itu kayaknya logis-logis aja).

Terus pas mereka ke pulau Esme...waw...gimana ya rasanya jadi Esme? Punya pulau sendiri. Keren banget! Tapi rada-rada blushing deh bacanya. Stephenie Meyer bener-bener pinter menuangkan imajinasinya kali ya. Tapi kepinterannya itu yang makin bikin blushing alias merona. Terus segala keindahan itu harus berakhir ketika mereka harus pulang. Soalnya....(baca sendiri novelnya!).

Buku kedua, menurut sudut pandang Jacob. Baca 2 kalimat di halaman pendahuluannya aja udah bisa bikin kita nebak gimana isinya! Frustasi dan depresi. Ya iyalah...masa Bella nikah dengan Edward dia ketawa-tawa. Walaupun sebagai temen dia bahagia karena Bella bahagia sih. Tapi nyentuh banget waktu dia tau Bella hamil dan berpikir "menyakitkan banget sesuatu dari yang kau benci tumbuh di yang kau sayangi". Poor Jacob...hiks! Tapi beda ma buku Bella yang diawali dengan kekikukan, eh kebahagiaan, dan berakhir dengan kepanikan; buku Jacob diawali dengan kesedihan dan diakhiri dengan keromantisan! Hahaha...akhirnya dia meng-"imprint" seseorang, walaupun secara nggak sengaja. Tapi menurutku, yang diimprint Jacob itu adalah yang tertinggi yang bisa dimiliki Jacob. No offense lho, bukannya aku nganggep Jacob nggak loveable apa gimana, bukan gitu! Tapi, taulah kalo Jacob sangat mengharapkan Bella. Banget! Tapi mungkin nggak semua yang diinginkan itu bisa terpenuhi kali...jadi, memiliki seseorang (lebih tepatnya sesuatu yang separo orang separo vampir) yang mewarisi setengah gen Bella itu menurutku udah harus bersyukur banget. Apalagi cara memilikinya kan secara imprint yang nggak disengaja...wah, kayak udah jodoh aja. Stephenie Meyer menuliskannya secara indah banget di halaman 419-420. Tepatnnya mulai dari baris ke-12 halaman 419 sampai baris ke-2 halaman 420. If you're like me, then you'll love it.

Itu akhir dari Buku Dua. Buku Tiga, balik ke sudut pandang Bella lagi. Tapi aku nggak berminat nulis tentang itu. Ntar kalo aku bocorin semua disini, kasian penerbitnya dong. Hahaha. Buat yang ragu-ragu mau beli apa nggak, beli aja! Insyaallah nggak nyesel. Novel ini komplit lho. Bagian seru-seruannya ada, mendebarkan ada, apalagi bagian romantisnya! Banyak! (asiiik!). Aku sampe agak nyesel nggak beli buku ini dulu. Kalo mo beli sekarang, aku ngerasa sayang beli buku yang udah pernah aku baca sebelumnya. Padahal kenikmatan beli buku itu ada saat kita pulang dan membaca sesuatu yang belum pernah kita baca sebelumnya. Ya, analog lah, kalo habis pada shopping baju juga sampe rumah pingin dicoba terus ngecek penampilan di depan kaca kan? Walau harus diakui, novel ini pantes buat bahan koleksi. Orang Inggris bilangnya worth it, gitu. Ya, kita lihat saja nanti apakah Amalia akan tergerak hatinya buat beli. Hehehe.

13/08/09

Young Bomber

Delapan belas? Sembilan belas tahun? Segitulah umur Dani Dwi Permana, eksekutor peledakan bom di hotel Marriott. Enggak lebih tua dari aku! Ya Allah...dia baru lulus SMA. Berarti adik kelasku. Tapi dia ADALAH eksekutor itu. Beberapa hari lalu bapakku nunjukin koran yang menjejerkan fotonya pas masih hidup ma pas udah meninggal (setelah direkonstruksi polisi tentunya. Btw, canggih juga yang ngrekonstruksi, meskipun masih serem sih jadinya).

Bapakku : Mirip kan? Emang dia berarti pelakunya

Aku : Ih, nggak ah pak (sebenernya cuma ngeliat sekilas, habis takut sih liat muka orang yang udah mati. Apalagi yang ancur gitu...ya Allah...tapi setelah aku amat-amati dengan sedikit seksama dan sedikit takut, ternyata lumayan mirip)

Aku : Eh iya ding pak, bibir bawahnya persis. Matanya juga lumayan mirip

Bapakku : Iya, enggak mungkinlah mirip 100% sama wajahnya pas masih hidup...pasti ada perubahan. Tapi kalo diamati seksama, mirip

Wow.

Bukan berarti aku mengagumi dia yah. Menurutku menghilangkan nyawa yang nggak bersalah itu dosa yang gedeeee banget (ya iyalah!). Lebih tepat digambarkan dengan kata “heran” kali ya. Kok ada, anak lulus SMA jadi eksekutor bom. Lha aku? Lulus SMA masih nggak ngerti “apa-apa”. Dia bawa tas isinya bom, aku bawa tas isinya jajanan kalo mau perjalanan Kudus-Yogya (cuek aja makan minum sepanjang perjalanan 5 jam gitu). Hahaha, ya jelas nggak bisa dibandingin lah. Aku kan anak “biasa”. Enggak pernah di-“brain-wash” (pakaian, kali ya, di-“wash”?). Enggak pernah dikasih tau kalo mengorbankan nyawa sendiri (dan nyawa orang lain) kayak yang dilakukan para teroris itu bisa bikin kita masuk surga. Masuk surga dari mana???

Di koran juga diceritain kalo bapaknya si Dani shock berat setelah tau anaknya itu ternyata pelakunya. Ya iyalah...siapa juga yang enggak bereaksi sama pas tau anaknya ternyata....(walah, kayak udah pernah punya anak aja! Ya, maksudku siapa coba yang nggak kaget kalo keluarga kita gitu). Dia bilang, pasti Dani udah didoktrin. And it’s true

Kemarin malem, baru aja nyampe Kudus (habis SKS-an) aku nonton acara di Metro TV apa TV One gitu (lupa, habis sama-sama sering nyiarin berita sih, sori!). Kayaknya MetroTV deh. Nggak niat nonton sih sebenernya, tapi berhubung acara itu yang disetel ya udah aku nonton aja. Lagian nggak ada acara yang menarik jam segitu, kecuali kalo malem Minggu jam 8 ada “are You Smarter than a 5th Grader”, hohoho. Ada bincang-bincang tentang terorism gitu deh. Nggak begitu menyimak apa yang dibicarain sih (tapi inget dikit-dikit, sepintas mereka ngobrolin penyergapan di Temanggung, yang hasilnya ternyata Ibrohim, bukan Noordin. Ya iyalahhh...gembong teroris se-Asia Tenggara masa nggak ngelawan dan nggak ditemenin pengawal kemana-mana). Aku lebih tertarik baca-baca respon dari pemirsa yang dikirimin lewat Facebook & Twitter. Ditayangin di bawah layar TV.

Lumayan banyak yang optimistis, kita bisa nangkap Noordin. Asal bisa kerjasama! Oke, setuju! Tapi ada juga yang pesimis kita nggak bakal bisa, soalnya dia dilindungi pihak lain. Yang sepertinya untung kalo Indonesia dapat cap nggak kondusip. Malah ada yang bilang dia dilindungi AS. Pemirsa lain bilang kalo tindakan-tindakan terorismenya adalah hasil konspirasi (wih, berat!) buat ngejatuhin umat Islam. Aku jadi mikir. Wah, bisa aja nih. Dengan terornya itu, Islamofobia jadi merebak. Ih, asem tenan. Dan bisa aja, selain itu adalah konspirasi buat ngejatuhin Islam, itu juga buat bikin jelek nama Indonesia. Ntar negara-negara lain pada ngeluarin travel warning. Terus pariwisata Indonesia bangkrut. Trus investor nggak mau nanem duit (padi kali ditanem) di Indonesia.

Yang lucu nih, ada yang berpendapat kalo Noordin itu sebenernya enggak ada. Nah lho? Bisa aja sih, tapi menurutku, gimanapun teror yang canggih-canggih itu pasti ada perencananya. Ada pemimpinnya.

Ya udah lah, sekarang berdoalah teroris-teroris jelek tu pada ketangkep. Siapapun lah! Mo Noordin kek, mo mister X, wis pokoknya ketangkep!. Dan kayaknya harus tetep ati-ati kali ya, kalo ada penduduk baru di sekitar kita.

lipbalm

Ya Allah, kayaknya amalia bener-bener lagi melewati masa kegenitan deh.
Hei-hei-hei...jangan berpikiran negatif dulu. If you're a girl, there's (or there are?) time of your life where you look at yourself and decide to take care more of it (halah, hipotesaku sendiri ini, jangan langsung percaya!).
Haha, tepat seperti itulah yang lagi aku rasakan.
Pingin "taking care of myself"
Sekitar dua minggu lalu, pas remid semester 2, aku malah kena flu berat (untung aja insyaallah bukan flu babi, menurut hipotesa mbak kos cuma gara-gara aku sering bergadang aja. sekarang udah sembuh kok). Alhasil batal deh aku memperbaiki nilai kimia organik ~yang bener-bener "organik" dah nilainya, karbon alias C~ hiks-hiks. taun depan ikut lagi nih.
Nah,
yang agak mengherankan, sehabis pulang ke rumah, gara-gara flu itu kok jadi lemes banget. haus terus. bibir jadi kering....klo mengatupkan bibir aku jadi inget tanah di sawah yang retak-retak di musim kemarau gara-gara nggak dapet jatah irigasi (lho, apa hubungannya??).
Dengan sisa-sisa kelemesan yang ada, aku olesin lipbalm yang biasanya aku pake.
Lima menit...
Sepuluh menit...
Seperempat jam...
masih lembab...lembut
tapi setengah jam, ya Allah udah garing lagi.
pikiran pertama (mungkin efek flu, jadi nggak rasional mikirnya) : "Wah, lipbalmku udah nggak oke nih. mau habis kali? tapi masak sih? bukannya harusnya sampai olesan terakhir (cie...) masih sama seperti olesan pertama dong?"
-Jadi inget ma keseragaman dosis yang slalu ditekankan oleh para dosen farmasetika, hehehe-
(setelah aku pikir-pikir sekarang, kayaknya bibir garing waktu itu gara-gara demam deh. tapi gak ada salahnya kan taking care more of myself? ~halah alesan~)
jadi aku pikir udah saatnya cari lipbalm baru. yang lebih oke!!! toh yang lama udah mau abis. jadi, aku mantengin hp baca-baca thread di internet yang bahas lipbalm. gile, kalo baca thread-thread gitu suka lupa waktu deh. eh ralat, sebenernya kalo ngenet di hp, apapun situsnya juga suka lupa waktu ding. habis asyik sih. tapi heran juga kadang-kadang. ada juga ya orang-orang yang rela habisin duit berjuta-juta (literally!) buat beli kosmetik. Hmmm, mungkin disaat orang-orang ngoleksi benda antik, perangko, action figure, dsb, mereka ngoleksi kosmetik kali ya? bisa juga.
Hmm, berdasar opini-opini para sister di thread-thread tersebut, aku jadi pingin Maybelline Lipsmooth. siapa tau membawa kelembaban buat bibir ini (tapi bukan buat bibir jadi higroskopis ya, ngeri kali kalo gitu).
So, I hit the cosmetic store in town. Dengan rada maksa ibu buat nemeni. hahaha. Untuk diketahui, walaupun udah 18 tahun hidup di kabupaten Kudus tercinta ini, sebenernya cuma ada satu toko kosmetik yang muncul di kepala kalo ada perlengkapan nglenong, eh, kosmetik yang harus dibeli. Sekar Melati @ Tosera. Deket alun-alun simpang tujuh itu lho. Berdasar rekomendasi ibuku juga sih. Sebenernya ada satu lagi, aku inget waktu masih balita ~eh, waktu masih SD ding~ diajak ibuku beli maskara disana. tapi entah kenapa nggak ada chemistry antara aku dan toko itu (halahh!!). padahal kayaknya toko itu lebih gede.
Tapi waktu itu hari minggu, dan tokonya TUTUP!! Argh!!! Padahal udah semangat 45 mo beli Lipsmooth! Kata tukang parkirnya "Dinten Minggu pancen tutup mbak". Hwa...knapa sih toko-toko tutup pada hari Minggu? Padahal hari Minggu kan hari libur buat orang kantoran seperti ibuku. Hari Minggu kan harinya jalan-jalan. Nguiks, apa boleh buat. Bukan saya yang punya toko ini.
Well, di Tosera ada sih beberapa toko lain yang jual kosmetik, tapi nggak ada yang jualan itu. malah pada nggak mudeng, dikirain mo beli bedak meybelin. Lipsmooth! I want LIPsmooth. Bukan facesmooth yang emang terkenal itu. Akhirnya aku bilang ibu "Ya udah deh bu, aku cari di mirota yogya aja. mungkin ada".
Akhirnya pulang dengan tangan hampa...eh, nggak juga ding! Ibu beliin aku sumpia udang yang maknyuss di toko sebelah Sekar Melati. Trus ibu beli pelembab wajah (di toko lain) dan aku beli Kompas Minggu. Biar enggak kuper-kuper amat gitu...

ps : di Mirota Kampus juga enggak ada!! Mbaknya juga ngira itu bedak! Ya udahlah, kayaknya emang harus stick sama lipbalm merek lama. Lagian setelah sembuh dari flu udah nggak garing lagi kok bibirnya. Dasar centil =p