12/02/10

Kunjungan ke Dokter Saraf (bagian 2)

Mau tahu kenapa aku harus pergi ke dokter saraf? Padahal kalau dilihat sepintas aku tampak sangat sehat walafiat.

Ya, aku memang sehat walafiat. Saat ini. Biasanya, di daftar tunggu pasien dokter saraf, akulah pasien yang paling muda, paling bugar, paling stabil, paling lincah…bahkan kalau mau aku bisa mengendarai motor (atau mobil? hahaha) sendiri ke tempat praktek dokter itu. Aku bisa berjalan dengan mudah. Aku bahkan bisa berlari dan main kasti. Aku bisa kuliah. Aku bisa bicara tanpa tergagap. Aku memiliki kemampuan koordinasi dan keseimbangan yang normal. Sistem persarafan di tubuhku sangat mampu melakukan apa yang dilakukan oleh sistem persarafan orang normal lainnya.

Tapi aku diharuskan minum obat setiap hari untuk memastikannya.

Di meja kamarku aku meletakkan obat yang harus kuminum setiap kali sehabis makan. Bukan hal yang menyenangkan untuk menjadi seperti orang sakit karena harus minum obat 3 kali sehari. Terkadang cukup merepotkan. Apalagi kalau dari buku-buku farmasi yang kau pelajari kau tahu bahwa obat itu dapat menyebabkan kerusakan hati jika diminum dalam jangka panjang (seperti yang aku lakukan).

Dulu pertama kali diharuskan minum obat, aku benar-benar jengkel dengan efek sampingnya. Mukaku jadi jerawatan. Dan bukan sekedar 1-2 jerawat merah besar biasa yang kau dapat kalau PMS itu. Jerawat yang muncul benar-benar banyak…dan parah. Mungkin 5-10 kali lipat lebih parah dari jerawat PMS. Dan jerawat itu muncul setiap waktu, bukan hanya pas PMS doang. Meninggalkan bekas lagi. Muka jadi kasar. Jerawat terutama muncul di dahi dan dagu dan nggak mempan dikasih obat apapun. Aku sendiri sering nggak tega lihat fotoku waktu itu, saking parahnya jerawatnya. Huft, untung sekarang sudah berlalu.

Obat-obatan itu adalah obat-obatan anti epilepsi. Waktu aku kelas 3 SMA (17 tahun) tiba-tiba aku kejang tanpa sebab. Kepalaku sakit sesakit-sakitnya, dunia tampak berkedip-kedip, kemudian memutar, kemudian rasanya seperti penderita anemia yang meloncat mendadak dari posisi jongkok, tapi perasaan berkunang-kunang itu tidak kunjung hilang. Aku menunggu dengan tenang, meyakinkan diri kalau perasaan berkunang-kunang itu akan hilang dan dunia akan kembali normal, aku cuma perlu minum suplemen penambah darah. Lalu damai (nggak sadar, maksudnya!). Dan ketika bangun, orang-orang sudah mengelilingiku yang kebingungan. Sepanjang perjalanan (yang baru aku sadari ketika sudah benar-benar sadar bahwa itu adalah perjalanan ke rumah sakit), aku tertidur dan terbangun beberapa kali. Rasanya capek sekali. Tapi aku ingat beberapa jalan yang kulalui, dan orang-orang yang mengantarku. Aku mengingat suara ibuku yang bertanya, apa yang kurasakan (kujawab dengan rengekan childish-manja-nyebelin, habisnya ngantuk sih). Ayahku yang menyambutku di depan ruangan (yang ternyata ruangan UGD), beliau baru saja pulang kerja dan langsung menyusul kesana, aku inget aku membalas senyum khawatir ayahku. Rasanya tenang. Aku ingat. Aku ingat di ruang UGD itu ada anak kecil yang menangis dan merengek dengan keras sekali sehingga membuatku tambah pusing dan capek. Kata ayah saat itu, anak kecil itu mengalami kecelakaan dengan alat pancing -.- Ada perawat cowok yang menyuntikkan cairan uji alergi di lenganku (untuk mengetahui aku alergi dengan obat tertentu atau tidak). Kemudian memasang infus dan mengomentari keberanianku yang cuma diam saja ketika infus itu dipasang. Ia bertanya aku kelas berapa. Kujawab aku kelas 3 SMA. Ia menanyaiku ingin masuk jurusan apa. Farmasi, jawabku. Lalu ia berkata "pantes gak wedi diinfus". Kemudian ada perawat cewek yang baru datang dan bertanya padanya "Emang dia pingin masuk apa? Keperawatan?". Ia menjawab "Farmasi". Dan suster cewek tadi hanya ber-ooh lalu berlalu.

Ayah menemaniku. Rasanya tenang. Ibuku saat itu dimana ya? Jangan-jangan beliau sedang sedih...sorry mom :'( oh iya, ibuku yang mendapatiku sedang kejang di kamar adikku, ternyata memasukkan jarinya di antara gigi geraham atas dan bawahku (tujuannya adalah untuk mencegah agar aku tidak memotong lidahku sendiri dengan gigiku...harusnya pakai handuk atau kain yang empuk, tapi kan lagi panik). And you know what?? Tindakannya menyelamatkan lidahku itu membuat jarinya lebam dan bengkak selama berbulan-bulan :'( Memang benar, cinta orang tua itu sepanjang jalan :')

Terus dunia berputar dan berkedip-kedip lagi. Aku bilang ke bapak "Pak, pusing". Kemudian damai lagi (maksudnya nggak sadar lagi). Ternyata saat itu aku kejang lagi. Ketika sadar, aku sudah berada di ruangan yang penuh alat, entah kenapa aku langsung sadar kalau otakku sedang diperiksa. Saat itu seingetku ada bapakku dan dua orang pegawai laki-laki yang sepertinya bertugas mengoperasikan alat-alat itu. Setelah kepalaku dikeluarkan dari alat itu, aku merasa pusing banget dan dengan suksesnya aku pun muntah. Ewww...mana setelah itu aku ketiduran lagi, hehe enggak tanggung jawab banget ya. Jadi merasa bersalah dengan siapapun yang kurepotkan saat itu, kudoakan mereka semua naik gaji deh. Ketika aku sadar lagi, aku sudah berada di suatu ruangan, di depanku ada meja, di belakang meja itu ada seorang suster. Kemudian ada suster lain sedang menyanyikan sebuah lagu yang enggak aku ketahui, tapi aku masih ingat liriknya. Kayaknya ya, otakku saat itu seperti dipermainkan tombol on/off-nya. Ketika on, dia langsung berfungsi dengan terlalu tajam, sampe-sampe aku masih ingat detail kejadian-kejadian itu sampai sekarang. Dan ketika tombol off ditekan, aku langsung tidur. Aneh banget :o

Suster yang melihatku bangun segera memanggil keluargaku. Ayah dan ibuku sedang pergi, jadi bulik (adiknya bapak) yang datang. Ruangan itu benar-benar tertutup dari luar, tidak ada jendela, tidak ada jam dinding, jadi aku tidak tahu itu jam berapa dan tanggal berapa. Dan yang kutanyakan pada bulikku adalah, "Bulik, tanyakan ke ibu atau bapak dong, udah transfer ke panitia UM UN*** apa belum, paling lambat tanggal segini lho. Oh iya, transfernya lewat bank B**". Jelas aja bulikku bengong sambil ngeliatin aku. I might hit my head on that cupboard too hard, haha. Setelah itu aku tidur lagi. Bener-bener mirip bayi baru lahir.

2 kali kejang dalam selang waktu yang singkat dan tanpa dipicu oleh hal-hal yang biasanya memicu kejang, (seperti hipoglikemia parah, mabuk alkohol, atau stress berat) yang kualami saat itu sudah cukup buat menegakkan diagnosa kalau aku ini penderita epilepsi.

Jadi aku epilepsi. Oke. Entah kenapa waktu itu aku enggak stress mendengarnya. Biasa aja tuh. Mungkin karena diberi valium (sok tau). Valium? Ya, mungkin aja pas kejang kedua (di UGD) aku diberi valium (Hehehe sok tau lagi…nggak ding!). Tapi bener lho, obat darurat buat orang yang kejang itu valium alias diazepam. Tuh di kulkas rumah masih ada 2 dosis. Terus selama di ICU rasanya ngantuk terus. Kesadaran rasanya “hilang-timbul”. Entah dikasih apa. Barbiturat mungkin? Hmm, jadi inget para mencit di praktikum farmakologi. Jadi bisa dikatakan kalau sistemku udah berpengalaman dalam memetabolisme obat-obatan. Hiks, kasihan ya liverku, ginjalku…

Ya, epilepsi itu nggak menyakiti secara fisik. Gimana mau kerasa sakit, selama kejang kan nggak sadarkan diri. Tapi setelah sadar, bingung cuy! Disorientasi dan ngantuk berat. Sebelum kejang, ada sih tandanya (“aura”). Aku inget, aku pusing berat sebelum kejang. Yang bahaya dari epilepsi adalah kalau pas kumat si penderita kejedug alias kebentur (kayak aku, untung nggak parah), jatuh, atau tenggelam. Bahaya juga lho kalau epilepsinya kumat pas penderita nyebrang jalan, mengemudi, lagi nyetrika, dan sedang melakukan kegiatan lain yang menuntut kewaspadaan penuh gitu.

Karena itu, buat memastikan aku aman dan nggak kejang lagi, aku harus minum obat. Dan kontrol ke dokter saraf. Kalau sakit “biasa” kayak flu dan harus ke dokter, aku juga harus jelasin ke dokternya kalau aku ini minum obat blablabla secara rutin karena blablabla jadi mohon jangan dikasih obat yang inkompatibel sama obat blablabla yang harus kuminum itu. Kadang aku bosen kalo ditanya kenapa aku harus minum obat terus. Kenapa di kamarku ada banyak obat-obatan aneh.

Tapi kan emang aku harus menjelaskan buat apa aku minum obat itu. Karena aku nggak kelihatan seperti orang yang harus minum obat. Karena aku sehat walafiat!

Dan aku berdoa semoga tubuhku tetap sehat untuk dapat terus menerima obat-obatan itu.

So I take it, and be grateful. Truuuuly grateful.

Hmm, epilepsi memberi pandangan baru terhadap hidup. Epilepsi sudah mendewasakanku (cieee…). Kalau ditanya apa saja yang kusyukuri karena epilepsi, jawabannya banyak banget. Mungkin dulu, dua tahun lalu, epilepsi pernah menyakiti dan membuat orang-orang di sekitarku panik. Mungkin epilepsi sudah merepotkanku dan membuatku sedih. Dulu sempat aku sedikit "protes", kenapa aku? Kenapa harus aku yang kena? Aku, yang tidak pernah mengejek atau menjauhi penderita epilepsi lain?? Dulu pernah ada seseorang yang kena serangan epilepsi, teman-temanku ketakutan akan tertular karena menurut mereka epilepsi menular melalui air liur penderita (padahal itu tidak benar, epilepsi enggak menular kaleee). Tapi aku tidak, aku memperlakukan orang itu sewajarnya seperti dia orang normal, lalu kenapa aku? Hahaha, pemikiran ini timbul karena waktu itu aku stres memikirkan mukaku yang hancur karena fenitoin. Jadi desperate gitu.

Terus satu lagi kekhawatiranku: kalau aku jadi tambah (maaf) bego dan oon gimana? Soalnya dari info yang kudapat saat browsing internet (dari situs enggak jelas, hehe maklumlah dulu belum ngerti apa itu jurnal ilmiah, apalagi textbook), ditulis bahwa setiap kali kejang, ada 50 sel saraf di otak yang mati. Berarti dari dua kejadian kejang itu, aku sudah mematikan 100 sel sarafku dong?? Padahal dari pelajaran biologi pas kelas 2 SMA aku belajar kalau sel saraf itu enggak bisa membelah diri a.k.a tubuh tidak bisa membentuk sel saraf baru untuk menggantikan sel yang rusak atau mati. Nah kalau diantara 100 sel yang mati itu ada yang penting bagaimana? Syukurlah ingatanku baik-baik saja setelah itu. Waktu aku tanyakan hal itu ke dokter saraf, dengan yakin beliau menjawab "Enggak apa-apa kalau ada yang mati, memang benar enggak bisa diganti...tapi otak kita itu pinter, dia bisa membentuk hubungan baru antar sel-sel saraf yang sebelumnya belum dipakai untuk menggantikan fungsi sel-sel yang mati tersebut. Itulah yang diperlukan agar kita bisa berfungsi normal". Huft legaaa...tapi tetep aja harus aktif mencegah gimana caranya biar enggak kejang lagi, iya kan?

Tapi dibalik semua itu, epilepsi bikin aku jadi orang yang lebih bersyukur. Salah satu yang kusyukuri adalah karena obat-obatan itu berhasil mengendalikan epilepsiku, jadi aku nggak pernah kejang. I love valproic acid so much! Banyak lho pasien yang jadi overweight setelah minum obat ini, tapi aku enggak tuh, tetep segini aja, waktu itu naiknya enggak terlalu banyak, cuma 3 kilo (itupun menurutku dipengaruhi banyak faktor lain, seperti karena kelamaan liburan habis ujian nasional, gaya hidup baru menjadi anak kos yang ternyataaaa...makan nasinya lebih banyak daripada anak rumahan, dan karena aku mungkin lebih thankful, bahagia dan bersyukur). Dan setelah dosisnya dikurangi, bobotku balik lagi, hehe. Alhamdulillah kan? Hidupku normal tanpa kekhawatiran bakal kumat. Dan masih banyak lagi. Siapa sih farmasis pinter itu, yang nemuin asam valproat? Aku harus berterima kasih pada dia.

Alhamdulillah!!!
Alhamdulillah lagi : karena udah dua tahun terapi, sekarang dosisnya udah dikurangi. Cihuy! Sabar ya liver dan ginjalku sayang, kita pasti kuat =p

Kunjungan ke Dokter Saraf (bagian 1)

I’m the luckiest person in the world.
Yes I am. I know, in the deepest place of my heart.
Some people are truly a genius. Some people are extremely rich. Some people are so graceful and good looking that everyone mesmerized and envied them. Some people have somebody they love and love them back in every bite of time. Some people are very talented so the world can’t help but seeing them.
I even feel luckier than them.

Saat kunjungan ke dokter saraf selalu menjadi momen yang….apa ya, aku belum bisa menemukan kata-kata yang pas. Tiap kali aku kesana, banyak sekali orang-orang yang mengalami kelumpuhan karena stroke, atau karena sebab lain.
Saat itulah aku bisa melihat cinta yang terpancar dari setiap mata manusia.
Seorang kakek memapah istrinya, seorang nenek-nenek, yang tidak bisa berjalan sendiri.
Seorang anak memapah ayahnya yang lumpuh.
Dan malam ini, aku ketemu sama seorang anak kelas 1 SMP yang kesulitan berjalan. Dia keluar dari ruang praktek dokter sambil dipapah ayah dan kakak laki-lakinya. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang di ruang tunggu itu. Sepertinya mereka begitu ingin tahu, bercampur dengan rasa kasihan dan simpati. Namun bukankah tidak sopan menatap dengan pandangan seperti itu?
Aku berusaha melawan keinginan untuk melihatnya dengan tatapan mengkasihani. Tapi aku juga bingung, ekspresi apa yang harus kutampilkan di mukaku. Maka aku memasang tampang biasa, sedatar mungkin, tanpa ekspresi apapun kecuali sedikit tarikan bibir biar nggak terkesan lagi cemberut. Ya Allah, Tuhanku…anak itu benar-benar tegar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya, meskipun ia harus dipapah seperti itu. Meskipun semua orang disitu menatapnya dengan tatapan yang, kurasakan mengintimidasi.
Ia masih ceria. Senyumnya membuatku ingin menangis. Ia bahkan sempat bercanda dengan kakak perempuannya…ibunya. Bahkan dengan keadaannya yang seperti itu (ekstremitas/anggota gerak bawahnya tampaknya “lumpuh”), mereka terlihat seperti keluarga-keluarga di televisi yang sedang bercanda ria. Dari percakapan yang kudengar, tak tampak ada rasa minder atau sedih dari perkataannya.
Seperti merasakan rasa ingin tahu yang dirasakan orang-orang disitu, ayahnya menjelaskan bahwa anaknya tiba-tiba tidak bisa berdiri sekitar dua minggu lalu. Sehabis shalat subuh, tiba-tiba kedua kaki anaknya lemah. Padahal anaknya masih sehat-sehat saja, tidak demam, bahkan sehari sebelumnya masih main layangan dan makan dua porsi. Benar-benar sehat walafiat. Dari penjelasan ayahnya pun tidak terkesan adanya ekspresi “protes” pada Allah. Beliau tampak tawakal menerima keadaan anaknya.
Kuulangi sekali lagi, senyumnya benar-benar membuatku ingin menangis. Menangis terharu karena ketegarannya. Di umur semuda itu, dia telah kehilangan kebebasannya untuk bergerak. Tapi dia menerimanya…
Dan aku menangis karena keberuntunganku…hari itu telah kutemukan lagi satu keberuntunganku.
Alhamdulillah!!!
(bersambung)

For The Broken Hearted

Banyak orang menginginkan bahkan setengah saja yang sudah kau miliki dalam hidupmu. Kelengkapan dan kesempurnaan ragamu, jiwamu, kecukupanmu. Kecukupan bahkan kelebihan yang kau miliki dalam hidupmu.
Maka berlebihankah jika orang-orang yang menyayangimu (yang mana mereka merupakan anugrah tersendiri dalam hidupmu), menyuruhmu untuk berhenti meratapi nasibmu? Berhenti untuk merasa bersedih dan merasa sebagai orang yang paling merana sedunia karena patah hati.
Karena kau memang bukan orang yang paling merana sedunia. Karena hidupmu adalah sebuah kehidupan yang layak kau jalani. Karena Tuhan telah memilihmu sebagai orang yang cukup kuat untuk menjalani ini semua. Termasuk untuk menjalani saat-saat seperti ini.
Sakitnya? “Kau tak akan pernah mempercayainya” ; “mudah bagimu tuk berbicara seperti itu” ; “bukan kau yang merasakannya”. Tentu saja tak seorang pun pernah merasakannya sahabatku, merasakan apa yang sedang kau rasakan saat ini. Karena tidak ada satu pun kejadian yang benar-benar sama. Takkan ada orang yang pernah merasakan rasa sakit seperti yang kau rasakan.
Namun, mereka, orang-orang yang menyayangimu, percaya bahwa kau bisa. Kau bisa melewatinya, karena itulah kau mengalaminya. Tuhan yang tidak pernah salah melakukan perhitungan tahu kau sanggup mengalaminya. Bahkan saat kau berpikir kau tidak akan bisa bangkit lagi. Kau bisa tersenyum lagi.
Karena itulah mereka yang menyayangimu selalu menyuruhmu bangun, memaksamu berdiri.
Dan membantumu untuk menyembukan lukamu pelan-pelan.
(Mungkin dengan cara-cara yang kau anggap ekstrim—percayalah, jika mereka benar-benar menyayangimu, semua cara ekstrim itu hanya demi ke-”sembuh”-anmu)
Semua itu karena mereka yakin,
Hidupmu terlalu indah untuk kau sia-siakan.
^^

---hidup itu untuk dijalani---
Bukan untuk diratapi