25/12/14

Subconscious

Ayahku menunggu di luar. Adikku juga, sepertinya. Mereka akan mengantarkanku menemui teman-teman kuliahku yang juga sudah menungguku di suatu kafe.

Namun aku malah memasuki sebuah toko buku. Oh bukan, lebih tepat disebut toko alat tulis. Tas plastiknya yang berwarna kuning, bukan putih, langsung membuatku tersadar akan tempatku berada. Kenapa pula aku akan menemui teman-teman kuliahku di sini? Kenapa pula adik dan ayahku menungguku?

Aku tahu mereka menungguku. Namun aku merasa aku harus tetap melangkah memasuki toko itu.

Rasanya aku tidak membawa apa-apa, namun kudapati petugas penitipan barang tersenyum ramah seraya menyerahkan kartu deposit padaku. Entah apa yang kutitipkan padanya.

Aku terus melangkah. Hei, benarkah ini toko alat tulis? Karena kulihat banyak sepatu dan sandal diobral di bagian depan toko. Kuputuskan untuk melihat-lihat sebentar. Harganya murah-murah. Namun tak kutemui wedges bertumit rendah berwarna cream.

Karena barang yang kuinginkan tidak pernah diobral murah.

Menyerah, aku melangkah ke bagian tengah toko. Di sebelah kiri, kulihat tumpukan binder yang dipajang untuk ditawarkan. Sebenarnya yang kubutuhkan bukan binder, melainkan notes kecil untuk mencatat tugas-tugasku.

Namun aku tetap berjongkok untuk melihat-lihat aneka binder itu. Kuambil binder di bagian pojok kiri, binder teratas. Entah kenapa, tanpa melihat covernya aku langsung membuka binder itu.

Aneh, toko ini menjual binder baru berisi kertas bekas.

Pada halaman acak pertama yang kubuka, kudapati sebuah grafik yang sepertinya menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Samar-samar kubaca, "Brinzolamide" ada di judul grafik itu. Grafik itu terasa familiar: tarikan garisnya, cara penulisan angka 7, cara penulisan huruf b dalam satu tarikan garis lengkung. Bukankah ini tulisanku?


Caraku menuliskan tanggal di pojok kanan atas. Memberi judul. Menulis lugu apapun yang kupahami saat itu.


Ini catatanku. Dijual di toko ini. Tak kupikirkan fakta bahwa dulu semasa kuliah aku tak mencatat memakai kertas binder. Aku benar-benar yakin bahwa ini catatanku. Penasaran, kubuka lembar selanjutnya.

Dan tertulis dengan spidol warna jingga, tulisan-tulisanku. Perasaan-perasaan yang temanya cukup baru. Berpuluh-puluh halaman. Aku tenggelam membaca curahanku sendiri. Benarkah aku pernah sampai seperti itu? Tanpa pikir panjang kumasukkan binder itu dalam kantong belanjaan yang tiba-tiba sudah ada dalam genggaman.

Entah kenapa aku membuka binder lain. Masih tulisan-tulisan yang sama, ditulis dengan tinta jingga. Tulisanku juga! Buru-buru kumasukkan binder kedua itu dalam kantong belanjaan. Dengan panik aku membuka satu persatu semua binder yang dipajang. Aku tahu, aku harus membeli semua binder yang memuat tulisan-tulisanku.

Terlintas pemikiran untuk menuntut toko ini, karena telah menjual kertas-kertasku tanpa sepengetahuan dan izinku. Namun akhirnya aku membeli 2 binder tadi, sebuah pensil bermotif kulit zebra dan sebuah stabilo hijau berlambang angsa. Kubayar tunai.

Aku melenggang keluar, geli dan heran kenapa kertas-kertas berisikan tulisan-tulisanku bisa ada di toko ini. Untung aku cepat-cepat membelinya sebelum kertas-kertas keramat tadi jatuh ke tangan orang lain! Aku tersenyum mengingat keberuntunganku.

Kubuka tas belanja berwarna kuning yang kini kupegang. Kuambil dua binder yang kubeli, aku ingin membaca ulang tulisan-tulisanku. Namun senyum dan langkahku terhenti kala kusadari kedua binder itu hanya memuat kertas-kertas kosong. Pasti ada yang salah! Pasti belanjaanku tertukar. Cepat-cepat aku menuju kasir. Ini tak boleh terjadi. Tulisan-tulisanku tak boleh dibaca oleh siapapun.

Kuingat mereka yang sudah menungguku. Entah sudah berapa lama mereka menungguku yang asyik sendiri di dalam toko. Namun aku harus mengamankan dua binder berisi tulisan-tulisanku itu. Terus aku berlari. Rasanya meja kasir terasa jauh sekali, namun akhirnya aku sampai juga.

Tepat ketika akan kutanyakan perihal tertukarnya belanjaanku, aku terbangun. Ah.

30/11/14

My Life is a Movie

My life is a movie. I am the main actress but i haven't read all of the scripts. Everytime i get up in the morning, I look forward to see how the story continues. It has a lot of unexpected twist. I want to know all of my story, I desperately want to know. But God makes me wait. Just when I start to forget my curiosity, He gives me a hint. Then another twist.

And I still wait how my story goes.

02/11/14

Himalaya

(A song by Maliq & D'Essentials)


Coba khayalkan sejenak, sepuluh tahun lagi hidupmu
Coba bayangkan sejenak, misalkan ada aku yang menemani hari demi hari yang tak terhitung
Misalkan itu aku yang terakhir untukmu

Untuk itu kan kupersembahkan Himalaya
Bahkan akan aku taklukkan tanpa cahaya di kegelapan
Berbalutkan pelita hatimu di aku, di aku
Dan kamu, pastikan kamu melihat aku, saat kugapai puncak tertinggi
Bersama tujuh warna pelangi

Misalkan semua terjadi
Meski belum terjadi sekarang
Kita renungkan sejenak cara agar semua bisa terjadi walau kutahu tak semudah itu
Tapi coba sekali lagi, bayangkan aku...

Untuk itu kan kupersembahkan Himalaya
Bahkan akan aku taklukkan tanpa cahaya di kegelapan
Berbalutkan pelita hatimu di aku, di aku
Dan kamu, pastikan kau melihat aku, saat kugapai puncak tertinggi
Bersama tujuh warna pelangi


****
Lagunya bagus, liriknya romantis, Sederhana tapi mengena.
Aku paling suka pas bagian "dan kamu, pastikan kamu melihat aku, saat kugapai puncak tertinggi".
:)

22/10/14

Past and Present

Masa lalu takkan begitu menggiurkan, jika sekarang kita berbahagia.

Kangen Kampus

Beberapa saat yang lalu aku membaca sebuah artikel di internet tentang sisi-sisi kehidupan anak UGM. Bagi yang berminat bisa membacanya  di sini. Setelah membaca artikel itu, mataku berkaca-kaca karena rindu. Huaaa, aku kangen sekali dengan masa-masa kuliah di UGM dulu. Bukan berarti aku tidak bersyukur atas keadaanku yang sekarang, tapi sampai saat ini aku masih merasa bahwa masa-masa kuliah adalah masa-masa yang menyenangkan. Ibarat bayi yang harus lahir dari rahim ibu, saat meninggalkan masa kuliah dan memasuki dunia kerja aku pun menangis. Sebabnya, aku seperti dipaksa untuk keluar dari rahim ibu, dari kenyamanan. Siapa lagi yang memaksa kalau bukan diriku sendiri, hehe. But actually, I like to force myself like that :p

Kembali ke topik utama. Aku merasa beruntung dan senang sekali karena bisa belajar di UGM selama 5 tahun. Kuliah di UGM merupakan cita-citaku sejak SD. Saat ibuku kuliah S2, aku sering diajak pergi ke Jogja, sekalian untuk berlibur. Ibuku selalu mengajakku ikut ke kampusnya, kampus Fakultas Pertanian UGM. Saat memasuki kampus UGM yang luas, aku yang masih berusia 10 tahun langsung terkagum, Kampusnya sangat luas, bus kota masuk dengan bebas. Sejauh mata memandang, tampak para mahasiswa. Mereka tampak begitu dewasa dan pintar-pintar semua. Sepanjang jalan berdiri bangunan-bangunan sederhana yang papan namanya memuat nama-nama luar biasa, misalnya "Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam". Sungguh mengesankan. Dulu, perpustakaannya masih berupa bangunan lama, tapi tentu saja besar dan mengesankan. Sayang dulu, ketika aku masih kelas 5 SD, tak banyak buku-buku di sana yang bisa kubaca. 

Fakultas Pertanian kala itu pun tak kalah mengesankan. Di berbagai penjuru tampak kelompok-kelompok mahasiswa berdiskusi, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak mengerti karena mereka menggunakan banyak istilah teknis bidang keilmuan mereka. Teman-teman ibuku di pasca sarjana pertanian, seperti umumnya para mahasiswa di Jogja, juga ramah-ramah dan baik. Sembari menunggu ibuku mengurus entah apalah di suatu ruangan, aku memandangi rumput di bawah kakiku sembari bertekad. Besok kalau sudah besar, aku mau kuliah di UGM! Keinginan itu menancap benar di pikiranku. I must and I will. Meskipun saat itu aku belum tahu kalau aku akan ingin menjadi seorang Apoteker,

Ketika tiba saatnya bagiku untuk memilih universitas tempatku melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA, dengan percaya diri aku memilih UGM, kampus impianku sejak kecil. Bukan, aku bukan murid terpintar di kelas, apalagi di sekolah, Tapi aku, yang selalu berusaha mengandalkan logika ini, ada kalanya bertindak berdasarkan intuisi. Intuisi "I must and I know I will" itu tadi. Seperti lagu Savage Garden yang judulnya I Knew I Loved You before I Met You, hehe. Menurutku, pada pandangan-pandangan pertama, kita telah memutuskan apakah sesuatu atau seseorang itu akan menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan kita. Berdasarkan pengamatan kita di awal-awal, kita sudah tahu, kelak kita akan menganggapnya sebagai apa. When I saw UGM for the first times, I know that I must and I will, be there. Intuisi. Walaupun soal UM (Ujian Masuk)-nya susah sekali, tapi entah kenapa aku tenang-tenang saja. Mungkin karena saat itu umurku baru 17 tahun? Bisa jadi.

Aku merasa bahagia sekali ketika ibuku membangunkanku malam itu, dan memberi tahuku bahwa aku diterima di Fakultas Farmasi UGM. Saking bahagianya, aku tak bisa tidur lagi sampai pagi.

Dan tanpa terasa, sudah lebih dari setahun lalu aku lulus dari UGM. Waktu berjalan sangat cepat. It feels just like yesterday when I first spending the night alone in Jogja. I was alone, but I didn't feel alone at all. Semuanya mengalir saja. Senang, sedih, bahagia, galau, warna-warni lah. Semuanya mengalir saja. Beraneka mata kuliah datang dan pergi. Semuanya penting dan jujur, sebagian besar menarik buatku. Sekarang kusadari betapa nikmatnya berangkat pagi untuk kuliah dan praktikum seharian. Belajar dalam keadaan yang tenang dan nyaman. Di dunia kerja, belajar dilakukan sambil melakukan hal lain. Bahkan terkadang, untuk belajar tentang sesuatu yang sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan kita, kita harus mencuri-curi waktu. I can't imagine a better place to pursue my bachelor and Apotechary degree, really. Just like I can't imagine to take another major besides pharmacy. Maybe it's my intuition speaking again, tapi beneran deh UGM itu keren banget. Googling sendiri sajalah, kenapa UGM itu keren, hehe.

Oh iya, aku sadar bahwa UGM, meskipun menurutku kerennya selangit, tetap saja mempunyai kekurangan, Kekurangan yang menurutku paling mengganggu dan mendesak untuk segera diperbaiki adalah kurangnya pengenalan terhadap dunia nyata. Dari percakapanku dengan beberapa teman sejawat Apoteker dari universitas lain, UGM (khususnya Fakultas Farmasi) memang lebih unggul di ranah teoritis. Mendalam sekali kami mempelajari orbital yang terlibat dalam reaksi kimia, proses pembelahan sel, proses terpicunya sistem imunitas spesifik, eksitasi elektron yang mendasari suatu analisa kimia, kinetika kimia dalam stabilita suatu zat aktif farmasi, apa yang terjadi antar molekul air dan minyak pada proses terbentuknya korpus emulsi. Mendalam sekali kami mempelajari teori balance score card, hierarki kebutuhan manusia, teori ciri-ciri profesi, teori komunikasi. Well, semua itu penting, namun waktu kami habis untuk mempelajari teori. Kurangnya persentuhanan kami dengan dunia nyata menjadikan kami sedikit kikuk dan terkaget ketika memasuki suatu industri, rumah sakit atau apotek. Maka sekarang aku setuju jika masa PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker) di industri atau rumah sakit akan ditambah durasinya menjadi 6 bulan dari semula hanya 2 bulan. Aku pun setuju jika sebaiknya kuliah tamu dari berbagai golongan praktisi ditambah frekuensinya. Sedangkan bagi mereka yang memang tertarik untuk mendalami teori, dapat melanjutkan studinya ke jenjang master alih-alih mengambil program profesi Apoteker. 

Praktikum-praktikum yang ada pun menurutku terlalu sederhana dan perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan perkembangan terkini di dunia nyata. Memang mahasiswa yang cerdas akan mampu menyari prinsip dari praktikum-praktikum yang ada untuk kemudian diterapkan dalam pengujian-pengujian lain yang lebih canggih di kemudian hari. Namun ada baiknya Farmasi UGM juga memperbaiki diri dengan memperbarui topik-topik praktikum yang telah ada. Akan lebih baik jika praktikum yang ada dirancang untuk lebih menggali kemampuan mahasiswa dalam berpikir mandiri, namun dengan tetap memelihara budaya teamwork. Mata praktikum yang telah menerapkan hal ini antara lain adalah praktikum Analisis Farmasi dan Analisis Obat, Kosmetika dan Makanan. Yang mana pada dua praktikum ini (which I proudly had ever been working at, as a technical assistant, hehe), praktikan harus mencari metode analisa untuk menganalisa suatu sediaan farmasi. Setelah itu, mereka harus mengkonsultasikannya pada dosen pembimbing sebelum menerapkan metode itu saat praktikum. It was fun, really. Meskipun ada juga yang masih mengandalkan laporan kakak kelas sebagai sumber metode analisa, tapi lumayan lah, enggak terlalu copy-paste banget. Karena kita harus mempertahankan metode itu di depan dosen pembimbing praktikum, jadi setidaknya kita harus paham tentang metode yang kita usulkan dan akan kita terapkan. Kira-kira seperti itu juga tahap pengembangan metode analisa di the real laboratory.

Ah, lagi-lagi tulisanku melebar kemana-mana.
Intinya, aku akan membeli kalender UGM 2015 di Kopma, untuk kemudian dipajang di meja kantor sebagai penawar rindu (atau malah akan semakin menambah rindu?).

Well,Have a nice day, readers :)

25/08/14

My Thoughts about My Job

I am thankful that I get this job before I was graduated. Sorry if this sounds rude, but honestly I can not imagine me being jobless and doing nothing everyday. My dream job was to be a quality-operational excellence specialist in a pharmaceutical industry. I was, and still am, quite interested on how to make a dependable system that is efficient yet able to assure the quality of the product produced. In other words, how to get higher quality yet higher yield with the same, or less, money, time and effort. It is both science and art because not only we have to understand the process, but we need to be able to manage people, machinery/instrument, starting material, environment and of course, the process itself.

However, destiny brought me to be a analytical development pharmacist. This job was not my first choice, but I took it after a long and thoughtful contemplation. Will I like this job? Will I passionately talk about my job to my friends that actually have no idea about what analytical development is? And the most important question I asked myself was: If I face problems and obstacles when I am doing my job, will this passion enough to help me go through? 

As you should agree, in a pharmaceutical industry, all of starting materials that will be processed to be finished product (active pharmaceuticals ingredients, inactive pharmaceuticals ingredients and packaging meterials) should be chosen very carefully, then tested to assure their quality. Why? Because starting material is one of the 5 affecting the product quality. And it is impossible for a pharmaceutical company to make all of the starting materials by itself. So, we literally rely in other parties (other manufacturers) to provide us something that will greatly affecting the quality of our product. My job is to assure that my company choose the dependable manufacturer that provides the highest quality yet offers the most reasonable prices. How do I do that? 

I correspondence with the starting material manufacturer, asking them about everything my company needs to know about their product quality and their company's reputability. I communicate with the Purchasing Department to make sure that my company get the most from the transactions we make future, or made in the past. I develop analytical methods to test the product. I validate, or verify the method. I communicate and work together with the Quality Control Department to make sure that those methods are applicable to be implemented in my company. Each of those activities can be broken into many sub-activities. That is why I am so busy in the office, because there are so many things to do and so many problems to solve. But hey, long before I decided to work in a pharmaceutical industry, I know that the pressure of working in an industry is enormous. But I decided to work here anyway. Why? Because I think I am still young. 

Yeah, I am full of youthfulness. I am in the peak of my physical and mental energy. I can work for 13 hours straight and still be okay when I get up in my bed the next morning. I can be pressured like this 5 days a week, yet I don't have to worry if I will get a -God Forbid- heart attack, major depression or any sort of mental illness. I literally don't have anybody depends on me financially. Alhamdulillah both of my parents are perfectly capable to support themselves and my brother. I can spend all of my salary to have fun every weekend, or maybe everyday, just to balance all of these pressure with leisure (but thank God I got enough financial education and still save a good amount of money every month and make an infestation plan). My parents and my brother are great. They always be my greatest inspiration, motivation and support in everything I do. I also have satisfying social relationship with some carefully selected people. Along with my parents, my brother and of couse my very own self, they are my true support system. They are people I love, depend to, and care about. With this level of energy, this amount of love from my support system and enough money in my youth, it is actually tempting to play safe-take an "easy" job. But why play safe? I don't want to play safe right now. My youthfulness is not going to stay forever. I want to make the most of it so I can enjoy it after my youth passes. 

I want to make the most of these youth times so that someday when I start a family I don't have to abandon them just because I still have to work as hard as I do now. I don't want to abandon them just because I "wonder what I actually capable of in career", because I have pushed myself to the limit and taste it all before I have them as my family. I agree that a woman should get the highest education so she can raise smart children. But I also think that a woman should experience what it is like to work hard and be pressured at work, so she can be a great mom. I think being a mother is physically and mentally harder than work in an industry sometimes. So I'd like to think that my job is a sort of preparation in starting a family later. I always think that a husband and a wife should be best friends. A husband should understand and support his wife's dreams and ambitions, including her dream career (and a wife should understand and support his too, vice versa). But children? 

Being a helpless creatures they are, they have to have their mother being with them. They need their mother to nurture them, feed them and play with them. They need their mother to assure the quality of the food they take, the clothes they wear, the air they breathe, the words they hear, and basically everything for them. They need their mother to They need their mother to teach them how to walk, to speak, to communicate, to go to the toilet by themselves, to eat their own meal and to believe in themselves. They need their mother to told them that they are special and loved. They need their mother to take them to school on their first day of school. They need their mother to take care of them when they are sick. They need their mother to listen to their first cry, their first word, their first stories and all of their stories. When that time comes, my job will not be my main focus.

I would like to believe that I do everything by choice. My own choice. Actually this belief helps me a lot. I choose to be here. As someone that is still learning how to be a responsible adult that can hold herself together, I will do everything to well...to hold myself together :)

24/08/14

Terjawab (Owalah Moment*)

Kata mereka, Allah selalu Menjawab permintaan kita. Dengan cara-Nya sendiri. Pada waktu yang sudah Ditentukan oleh-Nya. Kalau kataku, Allah selalu Menjawab semua pertanyaanku. 

Allah Menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Semua pertanyaanku, walaupun hanya pertanyaan sederhana seperti mengapa wortel berwarna jingga. Ternyata hal itu disebabkan karena wortel mengandung beta-karoten, suatu molekul yang memang berwarna jingga. Beta karoten ini bisa diubah menjadi vitamin A. Jadi benar bahwa makan wortel baik untuk kesehatan mata (agar beta karoten dalam wortel dapat diserap maksimal, sebaiknya wortel dipotong-potong kecil dan dimasak dengan sedikit minyak dahulu sebelum dimakan). Oh iya, sebenarnya dulu wortel itu bermacam warnany. Ada yang berwarna putih (wortel liar), kuning, merah dan ungu. Keanekaragaman warna wortel semakin beragam ketika seorang ilmuwan pintar, melalui rekayasa genetika, menghasilkan wortel berwarna jingga. Kemudian para petani negeri Belanda memilih untuk hanya menanam wortel berwarna orange sebagai bentuk kecintaan mereka pada kerajaan yang berkuasa saat itu. Jadilah wortel yang kita kenal sekarang hanya berwarna jingga.

Allah Menjawab pertanyaaan-pertanyaanku. Semua pertanyaanku, termasuk pertanyaan sulit seperti mengapa kita tidak bisa mendapatkan sesuatu di masa lalu. Pertanyaan itu menjadi suatu pertanyaan yang sulit, karena aku tahu pasti jawaban atas pernyataan itu tidak akan ada di internet. Aku tidak bisa meng-google pertanyaanku untuk mendapatkan jawabannya. Tidak ada textbook yang membahas hal yang kutanyakan itu. Pun aku tidak bisa menanyakan hal itu kepada orang lain. Pertanyaan itu juga menjadi pertanyaan yang membingungkan, karena saat itu kita sangat menginginkan hal itu. Ingin sekali sampai bersikeras. Hampir aku menarik kesimpulan bahwa ada memang akan ada satu atau beberapa pertanyaan yang tidak akan kita temui jawabannya di dunia ini. Ternyata tidak begitu.

Allah akan Menjawab pertanyaan kita. Allah Menjawabnya pada waktu yang tepat. Saat kita telah siap untuk mendengarkan dan merasakan jawaban itu. Saat pikiran kita telah terbuka. Saat logika dan akal sehat kita telah kembali. Saat emosi pengundang subyektivitas telah mereda. Saat itulah Allah akan Membisikkannya pada kita.

Atau mungkin Allah telah Memberikan jawaban-Nya padaku beberapa waktu yang lalu. Melalui berbagai pertanda. Melalui kata-kata nasihat dari orang-orang tercinta. Melalui insting akan bahaya yang terkadang muncul. Namun mungkin saat itu pikiranku masih tertutup, logikaku sedang lumpuh dan akal sehat kita terkalahkan oleh emosi. Sehingga aku masih saja merasa tidak mengerti.

Hari ini aku mendapatkan banyak pengetahuan baru. Hari ini, hampir tak terhitung kali aku mengalami owalah moment* karena aku membaca koran, main ke museum, berdiskusi, bercakap-cakap dan berjalan-jalan. Namun owalah moment sesungguhnya adalah ketika aku pulang, membuka pintu kamarku kemudian duduk untuk berpikir sebentar. Akhirnya aku mengerti. And it feels good. Terima kasih Allah, sudah Menjawab pertanyaanku. Pasti setelah ini aku akan menanyakan hal-hal lain.

*owalah moment sama aja sih artinya dengan Eureka moment, tapi karena aku orang Jawa jadi aku memilih untuk menggunakan owalah moment saja.

20/06/14

Sepotong Ingatan

Rembang, medio 2012.

Jeans cokelat. Blus berbunga-bunga sewarna cokelat juga. Kerudung warna senada. Matahari bersinar terik. Angin menyejukkan di bawah pohon kawista. Buah-buah bulat sewarna kerudungku menggantung di dahan. Daun-daun yang kecil saling bergesek. Pantai di belakang rumah. Polisi tidur dari tambang kapal. Padang rumput.

Rumah makan berarsitektur khas hasil asimilasi Cina-Jawa. Sirup beraroma sedap, manis dan bercita rasa tak biasa, terasa tajam di lidah dan hidung. Bau garam, baru lautan, bau matahari. Deru roda kendaraan-kendaraan besar menggesek aspal. Dokar-dokar menunggu penumpang di pasar. Kelenteng. Jalan-jalan yang mulus dan lebar. Etalase-etalase kaca berisi kain-kain berwarna cerah: biru, kuning, hijau,jingga dan tentu saja, merah.

***

Rembang, akhir 2012.

Rok biru berbunga-bunga. Kaos putih dan kerudung berwarna serupa. Masih di dekat pantai belakang rumah.  Tambang-tambang besar masih siap memaksa siapapun pemakai kendaraan untuk melambatkan lajunya.

Masih di sebuah mobil yang sama, melintasi tempat yang sama. Berisi aku yang sama.

Namun aku membawa buku yang berbeda. Dan aku tidak sedikit pun merasa keberatan.

Langit Rembang makin cerah. Dan aksen khas penduduk setempat membuat mereka terdengar seperti bernyanyi.

***

Rembang, menjelang medio 2014

Tulisan, bagiku seperti halnya perkataan, adalah doa. Karena hanya beberapa hari setelah aku menuliskan Rembang pada tahun 2012, aku berkesempatan untuk mengunjunginya lagi. Tak kusangka, kupikir aku takkan lagi pernah melihat tambang kapal sengaja dibentangkan di jalan.

Warung kecil yang menjual pepes telur rajungan. Kapal-kapal kecil tertambat di dermaga pinggir jalan raya. Kendaraan-kendaraan besar masih saja menderu melintas. Kolam garam, kincir garam dan gudang garam yang tentu saja beraroma garam.

Tak banyak yang berubah dari daerah ini. Aku memakai baju yang sama dengan yang kupakai hampir dua tahun lalu, pertama kalinya aku memasuki jalan di sebelah pasar itu, tempat dokar-dokar kosong menunggu penumpang.

Ingin rasanya memutar waktu menjadi 2 tahun lalu, saat aku dengan penuh rasa ingin tahu memesan jus buah beraroma tak biasa di restoran Jawa-Cina itu dan meminumnya. Saat aku terheran melihat tambang kapal dijadikan polisi tidur.

Saat aku tak membawa buku apapun ~

19/06/14

Love is Not for The Faints of Hearts

Because love is giving someone the power to hurt you and hoping they won't.

And being naked is letting someone into your thoughts, hopes, fears and dreams.

*2 kalimat di atas kukutip dari beberapa posting di www.9gag.com*

03/05/14

Dua Peri Gigiku

Sejak aku kecil, kira-kira kelas 1 SD, Ibu dan Bapakku sudah mengharuskanku menggosok gigi sebelum tidur. Sebagai anak kecil yang suka bermain sampai terlalu capek dan ingin langsung tidur, aku membenci keharusan itu. Aku belum mengerti manfaat menyikat gigi. Mungkin ibu dan bapak pernah menerangkannya padaku, tapi aku lupa. Pokoknya aku kesal sekali kalau diminta gosok gigi ketika sudah mengantuk. Apalagi ibuku hampir selalu mengawasi dan akan menyuruhku menggosok gigi dengan benar, tidak sekedar berbusa saja namun harus digosok cukup lama dan mencakup semua bagian gigi,

Pernah suatu malam aku tertidur di ruang keluarga. Aku kelelahan karena seharian bermain bersama saudara-saudaraku dari luar kota. Namun ibu dan bapak benar-benar tak mau tahu, mereka tetap menyuruhku menggosok gigi. Malam itu aku menangis di kamar mandi karena capek, mengantuk dan tentu saja kesal. Saat itu aku benar-benar tak mengerti, buat apa sih? Kenapa mereka tidak membiarkanku tidur saja? Aku benar-benar tak mengerti, ibu dan bapakku yang tak pernah menyuruhku masuk peringkat 10 besar di kelas, tak pernah memaksaku membantu pekerjaan rumah, tak pernah menyuruhku les ini-itu, tak pernah melarangku berteman dengan siapa pun...selalu memaksaku untuk menyikat gigi sebelum tidur? Menurutku saat itu, menggosok gigi sebelum tidur itu enggak penting banget.

Meskipun aku malas-malasan seperti tiu, ibu dan bapakku tak pernah bosan memaksaku menggosok gigi sebelum tidur.

Tahun-tahun terus berlalu. Kadang aku masih malas menggosok gigi sebelum tidur.

Tahun-tahun kembali berlalu. Tanpa kusadari aku sudah tidak pantas disebut anak kecil lagi. Aku sudah berbeda. Satu hal yang paling kurasakan, ketika aku berada di tempat umum, orang-orang memanggilku "mbak" dan bukan lagi "dik".

Tanpa kusadari juga, menggosok gigi sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan. Ketika aku merasa sudah waktunya buatku untuk tidur, maka tanpa berpikir lagi aku segera pergi ke kamar mandi, menyikat gigi. Sekarang ditambah dengan kebiasaan mencuci muka. 

Dan bila tak sengaja aku tertidur tanpa sempat menggosok gigi (sangat jarang terjadi), maka aku akan terbangun dengan perasaan risih dan tidak enak. As if I were a dragon breathing fire, begitulah adikku membuat perumpamaan. Nafas naga, hahaha, menjijikkan sekali.

Kebiasaan yang ditanamkan padaku itu ternyata kebiasaan yang sangat berguna. Satu-satunya sakit gigi yang pernah kualami adalah sakit ketika salah satu gigi susuku akan digantikan oleh gigi tetap, saat aku kelas 3 SD. Setelah itu, aku tak pernah merasakan sakit gigi lagi. Kunjungan ke dokter gigi adalah hal yang mudah dan tidak menakutkan, karena umumnya karang gigi terbentuk agak banyak hanya di belakang gigi bawahku saja (diakibatkan karena susunan gigi bawahku yang memang terlalu rapat). Selain itu, nothing. 

Pernah seorang mahasiswa kedokteran gigi akan membersihkan karang gigiku. Ketika dosennya memeriksaku, dosen itu bertanya, "oh, kamu sudah selesai membersihkannya?". Padahal mahasiswa kedokteran gigi itu belum melakukan apa-apa! 

Pada kesempatan lain kira-kira dua tahun setelah kejadian itu (tepatnya hari selasa lalu), seorang dokter gigi, sembari memeriksa gigiku, bertanya "kamu pernah tambal gigi?", dan ketika aku menjawab tidak, ia tampak agak takjub. Ia dan rekan sejawatnya setuju, gigiku sehat sekali. Mungkin aku merasa gigiku tak rapi susunannya dan warnanya pun tidak putih pula, namun ternyata menurut mereka gigiku sehat. Kata seorang dokter gigi pula, hygiene mulutku baik dan hal itu harus dipertahankan.

Aku yakin ceritanya akan berbeda jika dulu ketika aku kecil orang tuaku tidak bersikeras untuk menanamkan kebiasaan menggosok gigi sebelum tidur. Oh iya, ibuku juga membiasakanku sarapan dulu sebelum mandi. Jadilah aku selalu menggosok gigi ketika mandi, seusai sarapan (bukan sebelum sarapan).

Ah, pagi itu, di tempat para dokter gigi berpraktik itu, aku mengerti betapa cintanya kedua orang tuaku padaku. Aku teringat kata-kata yang entah kubaca dari mana, yang berbunyi, "kala kau merasa bahwa orangtuamu sedang menggunting kedua sayapmu, sebenarnya yang mereka lakukan adalah menjaga sayap-sayap itu supaya tidak patah", dan kalimat itu sangat tepat diterapkan untukku dan gigiku. 

Aku janji, ketika aku punya anak nanti, aku akan membiasakannya untuk menyikat gigi seusai sarapan (bagusnya sih, 30 menit seusai sarapan). Dan tentu saja aku akan memaksanya untuk selalu menggosok gigi sebelum tidur! Biarlah ia menganggapku galak dan nggak penting, aku hanya ingin menjadi peri gigi yang melindungi giginya dari karies dan lubang.

Terima kasih ibu...terima kasih ayah, sudah menjadi peri gigiku :D

Waktu

Bagiku, waktu tak pernah menjanjikan apa-apa
Tidak menghapus semua luka, tidak pula menciptakan lupa
Namun kadang, yang diperlukan hanyalah waktu