25/12/14

Subconscious

Ayahku menunggu di luar. Adikku juga, sepertinya. Mereka akan mengantarkanku menemui teman-teman kuliahku yang juga sudah menungguku di suatu kafe.

Namun aku malah memasuki sebuah toko buku. Oh bukan, lebih tepat disebut toko alat tulis. Tas plastiknya yang berwarna kuning, bukan putih, langsung membuatku tersadar akan tempatku berada. Kenapa pula aku akan menemui teman-teman kuliahku di sini? Kenapa pula adik dan ayahku menungguku?

Aku tahu mereka menungguku. Namun aku merasa aku harus tetap melangkah memasuki toko itu.

Rasanya aku tidak membawa apa-apa, namun kudapati petugas penitipan barang tersenyum ramah seraya menyerahkan kartu deposit padaku. Entah apa yang kutitipkan padanya.

Aku terus melangkah. Hei, benarkah ini toko alat tulis? Karena kulihat banyak sepatu dan sandal diobral di bagian depan toko. Kuputuskan untuk melihat-lihat sebentar. Harganya murah-murah. Namun tak kutemui wedges bertumit rendah berwarna cream.

Karena barang yang kuinginkan tidak pernah diobral murah.

Menyerah, aku melangkah ke bagian tengah toko. Di sebelah kiri, kulihat tumpukan binder yang dipajang untuk ditawarkan. Sebenarnya yang kubutuhkan bukan binder, melainkan notes kecil untuk mencatat tugas-tugasku.

Namun aku tetap berjongkok untuk melihat-lihat aneka binder itu. Kuambil binder di bagian pojok kiri, binder teratas. Entah kenapa, tanpa melihat covernya aku langsung membuka binder itu.

Aneh, toko ini menjual binder baru berisi kertas bekas.

Pada halaman acak pertama yang kubuka, kudapati sebuah grafik yang sepertinya menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Samar-samar kubaca, "Brinzolamide" ada di judul grafik itu. Grafik itu terasa familiar: tarikan garisnya, cara penulisan angka 7, cara penulisan huruf b dalam satu tarikan garis lengkung. Bukankah ini tulisanku?


Caraku menuliskan tanggal di pojok kanan atas. Memberi judul. Menulis lugu apapun yang kupahami saat itu.


Ini catatanku. Dijual di toko ini. Tak kupikirkan fakta bahwa dulu semasa kuliah aku tak mencatat memakai kertas binder. Aku benar-benar yakin bahwa ini catatanku. Penasaran, kubuka lembar selanjutnya.

Dan tertulis dengan spidol warna jingga, tulisan-tulisanku. Perasaan-perasaan yang temanya cukup baru. Berpuluh-puluh halaman. Aku tenggelam membaca curahanku sendiri. Benarkah aku pernah sampai seperti itu? Tanpa pikir panjang kumasukkan binder itu dalam kantong belanjaan yang tiba-tiba sudah ada dalam genggaman.

Entah kenapa aku membuka binder lain. Masih tulisan-tulisan yang sama, ditulis dengan tinta jingga. Tulisanku juga! Buru-buru kumasukkan binder kedua itu dalam kantong belanjaan. Dengan panik aku membuka satu persatu semua binder yang dipajang. Aku tahu, aku harus membeli semua binder yang memuat tulisan-tulisanku.

Terlintas pemikiran untuk menuntut toko ini, karena telah menjual kertas-kertasku tanpa sepengetahuan dan izinku. Namun akhirnya aku membeli 2 binder tadi, sebuah pensil bermotif kulit zebra dan sebuah stabilo hijau berlambang angsa. Kubayar tunai.

Aku melenggang keluar, geli dan heran kenapa kertas-kertas berisikan tulisan-tulisanku bisa ada di toko ini. Untung aku cepat-cepat membelinya sebelum kertas-kertas keramat tadi jatuh ke tangan orang lain! Aku tersenyum mengingat keberuntunganku.

Kubuka tas belanja berwarna kuning yang kini kupegang. Kuambil dua binder yang kubeli, aku ingin membaca ulang tulisan-tulisanku. Namun senyum dan langkahku terhenti kala kusadari kedua binder itu hanya memuat kertas-kertas kosong. Pasti ada yang salah! Pasti belanjaanku tertukar. Cepat-cepat aku menuju kasir. Ini tak boleh terjadi. Tulisan-tulisanku tak boleh dibaca oleh siapapun.

Kuingat mereka yang sudah menungguku. Entah sudah berapa lama mereka menungguku yang asyik sendiri di dalam toko. Namun aku harus mengamankan dua binder berisi tulisan-tulisanku itu. Terus aku berlari. Rasanya meja kasir terasa jauh sekali, namun akhirnya aku sampai juga.

Tepat ketika akan kutanyakan perihal tertukarnya belanjaanku, aku terbangun. Ah.