12/02/10

Kunjungan ke Dokter Saraf (bagian 1)

I’m the luckiest person in the world.
Yes I am. I know, in the deepest place of my heart.
Some people are truly a genius. Some people are extremely rich. Some people are so graceful and good looking that everyone mesmerized and envied them. Some people have somebody they love and love them back in every bite of time. Some people are very talented so the world can’t help but seeing them.
I even feel luckier than them.

Saat kunjungan ke dokter saraf selalu menjadi momen yang….apa ya, aku belum bisa menemukan kata-kata yang pas. Tiap kali aku kesana, banyak sekali orang-orang yang mengalami kelumpuhan karena stroke, atau karena sebab lain.
Saat itulah aku bisa melihat cinta yang terpancar dari setiap mata manusia.
Seorang kakek memapah istrinya, seorang nenek-nenek, yang tidak bisa berjalan sendiri.
Seorang anak memapah ayahnya yang lumpuh.
Dan malam ini, aku ketemu sama seorang anak kelas 1 SMP yang kesulitan berjalan. Dia keluar dari ruang praktek dokter sambil dipapah ayah dan kakak laki-lakinya. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang di ruang tunggu itu. Sepertinya mereka begitu ingin tahu, bercampur dengan rasa kasihan dan simpati. Namun bukankah tidak sopan menatap dengan pandangan seperti itu?
Aku berusaha melawan keinginan untuk melihatnya dengan tatapan mengkasihani. Tapi aku juga bingung, ekspresi apa yang harus kutampilkan di mukaku. Maka aku memasang tampang biasa, sedatar mungkin, tanpa ekspresi apapun kecuali sedikit tarikan bibir biar nggak terkesan lagi cemberut. Ya Allah, Tuhanku…anak itu benar-benar tegar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya, meskipun ia harus dipapah seperti itu. Meskipun semua orang disitu menatapnya dengan tatapan yang, kurasakan mengintimidasi.
Ia masih ceria. Senyumnya membuatku ingin menangis. Ia bahkan sempat bercanda dengan kakak perempuannya…ibunya. Bahkan dengan keadaannya yang seperti itu (ekstremitas/anggota gerak bawahnya tampaknya “lumpuh”), mereka terlihat seperti keluarga-keluarga di televisi yang sedang bercanda ria. Dari percakapan yang kudengar, tak tampak ada rasa minder atau sedih dari perkataannya.
Seperti merasakan rasa ingin tahu yang dirasakan orang-orang disitu, ayahnya menjelaskan bahwa anaknya tiba-tiba tidak bisa berdiri sekitar dua minggu lalu. Sehabis shalat subuh, tiba-tiba kedua kaki anaknya lemah. Padahal anaknya masih sehat-sehat saja, tidak demam, bahkan sehari sebelumnya masih main layangan dan makan dua porsi. Benar-benar sehat walafiat. Dari penjelasan ayahnya pun tidak terkesan adanya ekspresi “protes” pada Allah. Beliau tampak tawakal menerima keadaan anaknya.
Kuulangi sekali lagi, senyumnya benar-benar membuatku ingin menangis. Menangis terharu karena ketegarannya. Di umur semuda itu, dia telah kehilangan kebebasannya untuk bergerak. Tapi dia menerimanya…
Dan aku menangis karena keberuntunganku…hari itu telah kutemukan lagi satu keberuntunganku.
Alhamdulillah!!!
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar