Ya Allah, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku...
Doa yang sama, doa yang itu-itu aja, yang selalu kuucap sehabis salat dan kadang-kadang saat sujud.
Doa buat kedua orang yang paling aku cintai saat ini.
Kedua orang yang, biologically, masing-masing menyumbangkan setengah genomnya sehingga saat kedua “paronan” (setengah, red) genom itu bersatu, atas izin Allah terbentuklah makhluk bergenom 22XX bernama ****** ************ alias Liong (maklum, tadi pagi habis kuliah biologi molekuler).
Kedua orang yang, psychologically, punya andil besar dalam membentuk kepribadian, prinsip, dan kecerdasanku jadi seperti ini. Dari melihat cara mereka bersikap, aku belajar berperilaku.
Kedua orang yang, economically, masih menanggung seluruh biaya hidupku.
Kedua orang yang dipercaya Allah untuk membesarkanku.
Kedua orang yang terketik sebagai “pasangan suami istri sah” di akta kelahiranku.
Kedua orang yang paling mencintaiku dengan cinta tertulus yang bisa diberikan seorang manusia, bahkan sebelum aku ada di dunia ini.
Kedua orang yang lebih menderita dari aku saat aku sakit.
Kedua orang yang menjadi guru pertamaku. Yang mengenalkanku pada dunia ini dan mengajariku bagaimana menghadapi itu semua.
Yang selalu kuajak bermain saat aku kecil, diantara kesibukan mereka. Yang membujukku agar berhenti menangis. Yang selalu memastikan aku berbahagia dan aman sekaligus, setiap saat.
Kedua orang yang telah dan terus berusaha mengerti setiap tingkah lakuku. Yang tidak protes saat aku batal pulang kampung sesuai waktu yang sudah kujanjikan sendiri. Yang selalu memaklumi dan memaafkanku. Yang berkata “tidak apa-apa” saat nilaiku turun drastis. Yang tidak marah saat ulanganku gagal. Yang tersenyum padaku bahkan saat aku tidak bisa tersenyum untuk diriku sendiri.
Ibuku, orang yang melahirkanku. Memberiku makan dan perlindungan bahkan sebelum aku lahir. Memasak dan mengurus rumah tiap hari (padahal bekerja di kantor juga). Yang membantuku mengerjakan pekerjaan rumah dan membimbingku belajar di rumah saat aku SD. Yang menjagaku ketika aku bermain, agar aku tidak terluka. Yang memastikan aku makan dan tidur dengan baik. Yang selalu menyuruhku agar jangan ngoyo dalam belajar. Yang meneruskan pendidikan masternya sambil bekerja dan mengurus rumah, kemudian...lulus tepat waktu dengan gelar cum laude. Lambat laun, seiring bertambahnya umurku, beliau menjadi temanku. Yang bisa kuajak berjalan-jalan, bercerita. Aku bukan orang yang mudah membuka diri – andai saja aku begitu, pastilah lebih banyak lagi yang bisa kuceritakan. Orang yang mengajariku memasak, berdandan, membersihkan rumah, dan hal-hal praktis lainnya. Orang yang selalu, selalu, berusaha menyenangkanku. Yang menyisihkan makanannya untukku. Yang membelikanku aneka jajanan yang kusuka saat kami berbelanja. Yang menungguku dengan sabar sementara aku memilih-milih pakaian atau sepatu di mall. Yang mau menemaniku berjalan-jalan setelah seharian bekerja. Yang tetap tersenyum saat melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya jadi tugasku. Entah apa yang membuat wanita ini sedemikian sabar padaku. Ibu, aku begitu mencintaimu...
Bapakku, orang yang pertama kali mengumandangkan adzan dan iqomah di kehidupanku. Imam di keluargaku. Laki-laki paling penyayang yang pernah kutemui. Dalam diamnya, aku tahu ia menyayangiku. Yang mengantarkanku dengan motor kenangan kami, di hari pertama aku masuk TK. Yang mengajariku naik sepeda roda dua. Yang selalu menungguku selama paling tidak tiga puluh menit di pom bensin saat aku pulang dari Yogya naik bis, sebelumnya ia sudah membelikanku aneka roti yang kusenangi. Setelah aku naik di boncengannya, ia akan bertanya apa yang aku inginkan untuk makan malam. Yang mau mengantarkanku kemana saja, lalu pulangnya berkata “mbak Lia pingin dibelikan apa?”. Yang ikhlas bekerja keras seharian demi keluarga. Yang hobi mentraktir di tempat makan favoritku saat aku pulang kampung. Yang mengajariku membaca dan rajin membawaku ke toko buku saat aku kecil. Yang membuatku jadi seorang kutu buku dan alhamdulillah, jadi mampu membaca cepat. Yang mengajariku berbahasa Inggris dan memakai internet. Yang membelikanku beberapa ekor ayam saat aku kelas 5 SD, agar aku dan adikku berpengalaman memelihara hewan. Yang pernah mengajakku dan adikku main layang-layang sehabis pulang kerja. Yang mengantarku ke mantri saat jempolku terluka. Yang tidak keberatan menyapu, mengepel, menyetrika pakaian...yang selalu memastikan aku baik-baik saja. Yang memberiku beberapa prinsip yang masuk akal. Yang dahulu berusaha sekuat tenaga untuk kuliah, dan sekarang berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkanku...terima kasih bapak, aku begitu mencintaimu...
Aku sudah lupa kapan terakhir kali mereka marah padaku. Atau mungkin mereka memang tidak pernah marah padaku. Aku juga tidak ingat kapan mereka memaksaku, melarangku, tidak mempercayaiku, menuntutku, menghakimiku....
Yang aku ingat, setiap hari mereka menunjukkan kasih sayang mereka padaku.
*****
Allah menebarkan kasih sayangnya di muka bumi.
Dan, sebagai salah satu “jalur” kasih sayangnya untukku, Allah memilih ibu dan bapakku. Allah tidak pernah salah. Betapa beruntungnya aku bisa memiliki mereka sebagai orang tuaku. Betapa beruntungnya ibu memiliki bapak, dan sebaliknya, begitu beruntungnya bapak memiliki ibu.
Sekali lagi, betapa beruntungnya aku, dan adikku, memiliki mereka berdua.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, terima kasih ya Allah, segala puji bagiMu...
******
Tadi waktu menunggu salat Isya’ berjamaah dimulai, tiba-tiba selintas pikiran muncul di otakku. Muncul begitu saja, seperti lampu pijar yang tiba-tiba menyala dan tidak bisa dimatikan.
Pikiran itu adalah “betapa beruntungnya aku memiliki ibu dan bapakku. Juga adikku”.
Entah pikiran itu muncul dari hati yang bersih, atau justru dari setan yang ingin mengganggu kekhusyukan salatku, aku nggak tau. Tanpa terasa, pipiku basah. Bukan, aku bukan kangen berat sama mereka. Kalau kangen sih selalu, karena itu sebisa mungkin aku akan selalu pulang untuk mereka, dan untuk diriku sendiri. Tapi aku nangis bukan gara-gara itu. Tapi karena mengingat apa saja yang sudah mereka lakukan untukku. Semua yang kutuliskan diatas, belum apa-apa. Karena masih banyak lagi bukti cinta mereka padaku.
Lalu muncul satu pertanyaan “Terus apa yang sudah aku lakukan untuk mereka? Buang-buang duit? Habis-habisin beras? Atau apa?”.
Kenangan satu tahun lalu berputar. Saat aku diterima sebagai mahasiswa. Maaf, aku tekankan cerita ini bukan dimaksudkan untuk menyombong. Saat itu, tengah malam, jam 00.00 lebih sedikit, ibuku mengirim SMS ke content provider hasil UM UGM. Lalu datang SMS balasan yang menyatakan aku diterima. Aku terbangun mendengar kegembiraan mereka berdua. Bertiga kami mengucap syukur pada Allah. Mereka berterima kasih padaku, “makasih ya mbak, atas usaha mbak..”. Cara mereka menyayangiku sungguh unik. Seharusnya aku yang berterima kasih, atas dukungan doa, moril, dan materil dari mereka. Tapi, mereka malah berterima kasih padaku. Dan saat itu juga kegembiraanku, rasa lega yang ada padaku karena sudah diterima kuliah, mendadak kalah oleh kepuasan yang muncul karena melihat wajah mereka yang tampak sangat bahagia.
Lalu saat akhir semester 1 kemarin, saat alhamdulillah aku mendapat IP yang bagus. Tidak dapat diungkapkan betapa puas dan bersyukurnya aku melihat wajah mereka yang gembira. Mereka mengucapkan selamat dan terima kasih. Betapa seringnya mereka mengucapkan terima kasih padaku. Seolah hanya AKU lah yang menentukan segala kesuksesan yang terjadi. Mereka segera melupakan jasa mereka padaku. Itulah contoh cara hidup yang tidak pernah mereka ucapkan secara gamblang - namun dari cara mereka memperlakukanku, aku belajar agar sebaiknya kita tidak membesar-besarkan apa yang sudah kita berikan pada orang lain. Kemudian ketika akhir semester 2, IPku turun cukup drastis, namun ketika aku mengucapkan maaf, mereka malah berkata tidak apa-apa. Kemudian kami melanjutkan segala sesuatu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Berapapun IPku, mereka tetap gembira menyambut kedatanganku, menanyakan kesehatanku...sungguh semua sikap itu berbicara lebih banyak dan lebih tegas daripada sekedar berjam-jam berkata-kata bahwa mereka cinta padaku. Dan cara mendidik seperti itu malah memacuku lebih keras untuk berusaha dengan maksimal di semester 3 ini. Aku pasti bisa mengembalikan prestasiku seperti semester 1 lalu. Amin...
Oh iya, satu lagi. Aku ingin lulus dengan gelar cum laude. Untuk pamer? Bukan. Buat apa? Aku ingin ibu dan bapakku, berpakaian resmi, mengapitku yang mengenakan toga dan selempang bertuliskan cum laude. Lalu seorang fotografer handal memotret kami. Lalu mereka mendengar namaku dipanggil. Mereka lebih dari pantas mendapat kebanggaan seperti itu. Aku ingin menjadi farmasis yang sukses. Aku harus berhasil dalam kehidupan ini. Aku ingin orang-orang tahu, mereka berhasil membesarkanku. Kalian pernah lihat sebuah iklan yang mengisahkan seorang arsitek yang diwawancarai banyak wartawan? Ia berkata “Kalau ingin tahu cara membesarkan arsitek, tanya bapak saya”. Ya, aku ingin juga berkata seperti itu. Siapa yang mau bertanya “Bagaimana cara membesarkan seorang farmasis?” ? dan aku akan berkata dengan mantap “Silakan tanya kepada ibu dan bapak saya”.
Ya Allah, berikanlah aku waktu dan kemampuan untuk membahagiakan orang tuaku, seperti mereka telah membahagiakanku. Amin ya rabbal ‘alamin.
Kamar kos,
Selasa 25 Agustus 2009
22.30 WIB
p.s. : Korban nulis postingan ini meliputi 1 buah kaos dan 4 lembar tisu buat menghapus air mataaa....hua....dasar berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar