31/08/09

Kudus

Kabupaten Kudus Tercinta

Haa...betapa cintanya aku ma kabupaten Kudus (iya, Kudus itu kabupaten saudara-saudara, bukan kota...). Tapi berhubung orang Indonesia sukanya membuat segala sesuatu jadi simpel, ya udah lah disebut aja kota Kudus, kota Kudus gitu...ya uwis lah. Dikutho-kuthokke (dikota-kota-kan, Red). Walopun menurutku rasanya kayak sedikit ngaku-ngaku. Biarpun kabupaten, Kudus kan damai dan makmur. Sugih! Tau nggak lo??? (bahh...sok banget, hehehe). So, pede aja...

Kudus itu di Jawa Tengah, di daerah Pantura alias Pantai Utara Jawa. Buka atlas pulau Jawa deh kalo nggak ngerti. Ato tanya aja ma Om Google sana. Pas dulu awal masuk kuliah ada tuh temen-temen yang nggak ngerti Kudus itu dimana. Hiks-hiks...mungkin kalian juga nggak ngerti?? Wah, piye to...oke oke, kali ini saya nggak akan menghakimi anda (ngapain juga?). Akan saya berikan sedikit clue. Tau ROKOK cap Djarum nggak? Yang sekarang variannya macem-macem. Ada Djarum 76, Djarum Black, banyak deh. Iklannya kreatif-kreatif banget. Eits, saya bukan perokok ya (dan sebagai calon farmasis saya sama sekali NGGAK merekomendasikan anda untuk merokok). Nahh! Perusahaan rokok Djarum itu ya di Kudus!

Selain Djarum, bertebaran juga banyaak perusahaan rokok lain di Kudus, misalnya Sukun, Djamboe Bol, Nojorono, dan lain-lain (yang ngrokok pasti apal deh, hayooo...). Itu yang perusahaan menengah ke atas. Yang kelas teri? Jelas lebih banyak. Malah ada tuh istilah “rokok tingwe” alias rokok “nglinting dhewe”. Artinya melinting (tembakau) sendiri (jadi rokok, buat dikonsumsi sendiri biasanya). Di deket rumahku ada satu perusahaan rokok juga. Perusahaan kecil sih. Tapi bener-bener memberdayakan masyarakat lho. Buktinya semua perusahaan rokok itu, dari yang kelas hiu sampe kelas plankton, sanggup menyerap 100 ribu karyawan. Oh wow, buat sebuah kabupaten kecil tentu aja jumlah segitu luar biasa. Walaupun aku takut juga waktu dulu katanya rokok mau difatwa haram. Oh no! Mau dikemanain karyawan sebanyak itu? Oh iya, secara rokok itu dikenai cukai oleh pemerintah, maka kabupaten Kudus mampu menyumbangkan 50 triliun rupiah kepada APBN 2009. Hahaha...makanya udah bilang kan tadi diatas, Kudus iku cilik-cilik sugih (Kudus itu kecil-kecil kaya). So, be proud to be a Kudusian!

Eh iya, ternyata nggak cuma perusahaan rokok aja yang ada di Kudus. Di Kudus ada PURA, perusahaan kertas terbesar se-Asia Tenggara sampai saat ini. Inget duit 100 ribuan yang terbuat dari plastik itu? yang ada kembangnya warna pink tua itu lho. Itu dicetak di Pura. Kalo lewat di depan salah satu bangunannya Pura yang deket terminal Jati itu, wah, futuristik! Dengan lampu-lampu dan sebagainya. Keren. Dengan adanya pabrik-pabrik rokok dan kertas, resmilah Kudus sebagai kota industri. Di deket (ya nggak deket-deket amat sih) rumahku, ada pabrik gula. Terus ini nih yang makin maju. Industri konveksi rumahan! Jumlahnya banyaak banget. Menghasilkan beraneka pakaian (sekarang banyaknya kerudung) dengan mutu yang bervariasi banget. Istilahnya, dari yang murahan sampai alusan ada. Produk-produk itu bisa ditemui di Pasar Kliwon (katanya sering dijadiin sentra kulakan para pedagang dari luar kota juga). Asyik lho, belanja kerudung di Pasar Kliwon. Toko-tokonya, ditata lumayan rapi untuk ukuran sebuah pasar yang selalu rame. Dan kalo bisa nawar, insyaallah nggak bakal kecewa.

Enough talking ‘bout the industry, sekarang mari bercerita tentang keindahan kota Kudus. Di sebelah utara, ada Gunung Muria, yang kawasan wisatanya dinamakan Colo. Disana juga ada makam Sunan Muria, salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa. Udaranya sejuk (walaupun gunungnya sendiri nggak begitu tinggi) dan lumayan tenang, soalnya wisatawannya nggak terlalu rame. Ada air terjunnya juga! Ada pemancingannya...oh, udah lama banget aku nggak main kesana. Di pemancingan, selain bakar ikan kita juga bisa makan PECEL DAUN PAKIS (pakis=tanaman paku-pakuan, mostly semanggi, Marsillea crenata). Disini kita juga bisa lihat Kudus dari atas. Di Colo ada Bengkel Seni Takim, patut dikunjungi para pecinta seni sejati. Eh iya, buat ibu-ibu yang lagi mengandung, bisa beli dan mengkonsumsi “parijoto” (bener nggak ya nulisnya?) di Colo. Denger-denger, kalo pas hamil makan ini ntar anaknya cakep. Hihihi...belum teruji secara klinis sih. Aku sebenernya pingin nguji, tapi kan harus diuji pre-klinis ke mencit dulu. Nah, ini yang susah. Gimana caranya membedakan mencit yang cakep (karena induknya dipapar parijoto saat hamil) dan mencit yang biasa aja (karena tidak dipapar parijoto)?

Selain itu, buat ente-ente yang beragama Islam, sempatkanlah mengunjungi masjid Menara Kudus, simbol kota Kudus. Disitu ada makamnya Sunan Kudus. Menaranya konon adalah hasil dari perpaduan berbagai budaya yang ada di Kudus. Rumah-rumah di sekitar masjid ini unik-unik lho, antik-antik piye...gitu (lha piye?). Eh iya, sampe sekarang kalo Idul Adha masyarakat Kudus tuh nyembelihnya kambing dan kerbau. Sapi kan binatang yang suci buat pemeluk Hindu, so Sunan Kudus (penyebar agama Islam di Kudus) menyuruh kita menghormati kepercayaan itu dengan tidak menyembelih sapi. Ajaran itu masih ada sampai sekarang.

Makanan khas? Buat oleh-oleh kalo dari Kudus, biasanya orang-orang beli jenang Kudus. Makanan manis dari tepung ketan, kelapa, dan gula jawa. Kayak dodol tapi lebih kenyal dan nggak asam sama sekali. Kalo makanan “berat”, ada lentog (udah pernah saya tulis di postingan tersendiri), soto Kudus, garang asem, dan nasi pindang (ini dari daging merah lho, bukan dari ikan). Semuanya pas di lidah saya, kecuali jenang..nggak tahu kenapa, saya agak kurang sreg dengan kemanisannya itu (sori-sori buat para penggemar jenang). Tapi jenang adalah tentengan wajib buat para sanak saudara dan handai tolan (halah!) kalo kita pergi ke luar kota. Eh, ada satu lagi ding, roti duren! Enak. Rotinya bunder-bunder dan rasanya duren banget. Berhubung aku penggemar duren ya aku suka, hehehe. Ngomong-ngomong, jadi inget para bakul (pedagang, red) duren yang mangkal di Durian Street (dari Proliman belok ke selatan). Mantep banget kalo lewat situ, aroma duren menyerbak dan bikin kepingin, hihihi.

Kudus itu kota kecil. Literally! Denger-denger, Kudus itu kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Kayaknya sih bener. Kalo lagi di Kudus, mau kemana-mana, selama masih berada dalam jangkauan wilayah kabupaten Kudus, rasanya deket. Misalnya dari rumahku ke terminal, dari terminal ke pasar, bahkan dari rumahku sampe gunung Muria aja rasanya deket. Daripada dari rumahku sampe Gunung Merapi, hayoo? (Ya iyaaalah...). Maklum, soalnya ya itu tadi, wilayahnya kecil. Akibatnya, kalo aku keluar kota, mau kemana-mana kerasa jauh. Misalnya kalo mau ke rumah Eyang di Semarang, kan naik bus sampai terminal Terboyo tuh. Nah, dari Terboyo sampai Banyumanik, ya Allah lama banget....malah kayaknya lebih lama dari perjalanan antar kotanya sendiri. Iya sih, Terboyo-Banyumanik itu adalah “Semarang Ujung ke Ujung”. Tapi kalo di Kudus, “Kudus Ujung ke Ujung” itu jauh, jauh lebih singkat. Coba aja berangkat dari terminal Kudus (di Jati) sampe Jekulo sono (yang berbatasan dengan Pati). Nggak membutuhkan waktu selama itu. Begitu juga kalo di Yogya. Ya begitulah resikonya tinggal di kota kecil. Eh, maksudku kabupaten kecil.

Di Koran Kompas pernah ada artikel tentang wajah Kudus sekarang. Diceritain kalo sekarang Kudus itu penuh dengan ruko. Emang bener sih. Di tiap pinggir jalan yang rada gede dikit, ruko. Di deket sekolahan, ruko. Di tanah kosong, mau dibangun ruko. Ruko, ruko, dan ruko mulu. Sampai-sampai udah merambah di deket rumahku. Ada ruko juga! Haduh, bisa-bisa Kudus bukannya kota industri lagi, tapi kota ruko. Mungkin keberadaan ruko karena daya beli Kudusian yang meningkat. Tapi dampaknya? kebanyakan ruko dan sedikit industri berarti kita nggak bisa memproduksi tapi terus mengkonsumsi. Ruwet. Selain ruko, di Kudus juga udah ada 3 pusat perbelanjaan yang katanya modern (inisial M, R, dan A). Belum lagi minimarket-minimarket yang makin menggusur warung-warung kecil. Belum lagi pasar Kliwon, hihihi. Wah, gimana nggak makin konsumtif aja tuh para Kudusian? Walaupun sedikit bikin bangga sih, soalnya kan katanya (entah katanya siapa) kalo punya banyak perbelanjaan modern alias mol itu modern, hihihi. Soalnya dari beberapa kabupaten yang pernah saya kunjungi, wah, kayaknya Kudus di atas angin dalam hal perekonomian. Tapi orang-orang Kudus (Kudusian kalo saya nyebutnya, awas kalo diplesetin) bukan orang-orang yang snob kok, kecuali yang emang dasarnya snob (halah! Wis ngerti aku).

Jadi menurutku Kudus tuh kabupaten yang sedang memajukan diri tapi masih kentel sifat-sifat khas orang dari kota kecil di Jawa. Misalnya :

  • Masih ewuh-ewuh, yah masih adat ketimuran lah
  • Logatnya kentel. Kalo orang Kudus, kalo ngomong ada question tag-nya, “tah”. Misalnya “opo?” jadi “opo TAH?”. Jangan lupa ngomongnya sambil sedikit mengerutkan kening, nah, begitu, mulut terbuka sedikit, yap, sudah betul. Biarpun ente-ente menganggapnya ndeso bin katrok tapi saya akan terus memakainya, hahaha. Ngapain juga malu akan dialek itu. Jaga gengsi? Gengsine sopo? Malah bangga dan bisa memotivasi dong. Jangan-jangan suatu saat ada ilmuwan ngetop bertaraf internasional dari Indonesia yang ternyata berdialek Kudus. Lha sapa ngerti? Iso wae to? (siapa tahu? Bisa jadi, kan? – red). Heran juga, aku sama orang tua dibiasain bahasa Indonesia tapi kok begitu keluar rumah luntur semua ya ajarannya. Beginilah peer pressure akibat dari bergaul mbek konco-koncoku (temen-temenku) di Kudus sono yang notabene njawanine pol nek ngomong (Jawa banget kalau berbicara, red). Hehehe...piss!
  • Sebagian besar penduduknya juga masih sarapan pake nasi (bukan pake roti, pasta, atau sereal kayak orang kaya di kota besar). Penduduknya belom keranjingan makanan cepet. Nagapain juga cepet, ha wong masak alon-alon biar sehat juga bisa kok. Tekanan hidup nggak segede di kota besar kali. Yang ibu-ibunya nggak sempet masak (terus kenapa nggak mempekerjakan pembantu, biar bisa dimasakin?). Alhamdulillah meskipun ibuku wanita karir, masih sempet masak makanan sehat buat kita-kita sekeluarga.
  • Di kampung sering banget diadain selametan (kendurian, syukuran, you name it). Bayi baru lahir, selametan. Bayi puputan (lepas tali pusernya), selametan. Sunatan? Nikahan?, selametan juga (walaupun udah menggelar resepsi di gedung mewah juga). Yang diundang bapak atau laki-laki di rumah, terus pulangnya dibawain nasi gurih+ayam kampung...enak banget. Tetanggaku ada tuh yang hobi ngadain selametan, namanya bu Sakem dan pakde Sukoyo. Ayamnya enak banget. Dibumbu kayak opor tapi santannya encer.
  • Orang-orang yang baru ketemu (apalagi kalo udah dewasa) ngobrolnya masih pake bahasa Jawa Krama. Nawar di toko juga pake bahasa Krama. Pokoknya Javanese everywhere deh. Paling di mol-mol tuh mbak SPGnya pake bahasa Indonesia. Tapi kalo ada orang yang nggak bisa Javanese ya pake bahasa Indonesia lah, atau bahasa Inggris (weleh, nggaya banget, nggak ding! Kecuali kalo udah bisa bahasa Inggris trus ketemu bule)
  • Nah ini nih...kalo di sekolahan dan main sama temen, ngomongnya bisa bebas pake basa Jawa sengoko-ngokonya! Aw...how I miss it! Rasanya kepribadianku bener-bener keluar kalo diekspresikan dengan media bahasa Jawa Ngoko, hahaha. Palingan kalo sms-an, pakenya aku-kamu. Bukan elo-gue.

Kudus, cukup kemewahan untuk dipakai sebagai tempat berfoya-foya. Cukup sederhana buat dipakai tempat hidup sederhana. Maksude? Gini lho, kalo kita mau hidup mewah di Kudus, bisa (asal duitnya ada). Nginep aja tiap malem di hotel Griptha itu. Mewah to...terus tiap hari keramas di salon, makan di Kenari atau Garuda, naiknya mobil mewah. Tenang, kita-kita nggak bakal sirik kok. Tapi kalau mau hidup apa adanya juga bisa. Kudus kan kabupaten, jadi palingan biaya hidupnya nggak sebegitu besar kalo dibandingin ma kota besar.

Ah, Kudus. Tempat dimana aku selalu dan ingin selalu pulang. Walaupun udah kerja di kutub utara sekalipun! Aku yakin anda-anda juga bangga dengan kabupaten or kota anda, seperti aku bangga pada Kudus. Harus lah! Jangan menafikan identitas asli anda, mentang-mentang udah merantau ke kota besar, udah kaya, udah sukses, dan udah-udah yang lainnya. Banggalah akan ke’medhok’-an dialek anda (aduh, medhok bahasa Indonesianya apa ya? Masa ‘mateng’ sih?). Aja digawe-gawe (jangan dibuat-buat, Red). Ntar kalo orang seluruh Indonesia menghilangkan dialeknya masing-masing, nggak beragam lagi dong kita-kita. Hihihi.







p.s :

Wait-wait...kayaknya kok postingan ini jadi kayak promosi wisata ya? Ah, nggak apa-apa deh, aku ikhlas kok meskipun enggak dibayar. Buat Kudus...hehehe.


Keterangan

bahasa Jawa krama : Tingkatan bahasa Jawa tinggi, bahasa Jawa halus, dipakai untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, yang dihormati, pada Tuhan, atau pada orang yang baru dikenal (yang seumur atau lebih tua)

bahasa Jawa ngoko : Tingkatan bahasa Jawa rendah, bahasa Jawa kasar, dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih muda atau sebaya (yang sudah akrab), dan pada diri sendiri.



1 komentar: