Aku merupakan suatu senyawa
organik. Menurutku tidak ada yang spesial pada diriku, hanya aku memiliki dua
bagian tubuh yang berlawanan satu sama lain. Salah satu dari mereka dapat
melepaskan hidrogennya. Sebaliknya, ada bagian tubuhku yang dapat menangkap
hidrogen. Namun kedua bagian tubuh itu kumanfaatkan untuk bergandengan dengan
tetangga sejenisku, prolin dan hidroksiprolin. Seperti senyawa organik pada
umumnya, aku disusun dari atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Ada juga
sih anggota keluargaku (keluargaku artinya senyawa-senyawa lain yang katanya
strukturnya mirip struktur molekulku), yang punya atom sulfur. Ah, tentang ini
sih, bukan urusanku. Tuhan menyuruhku begini, aku ikut saja. Meskipun tidak
punya atom sulfur, aku tetap bersyukur sudah ditakdirkan menjadi diriku seperti
ini. Dalam kehidupan kali ini, Tuhan Menyuruhku untuk ikut andil dalam menyusun
kulit seekor sapi. Sapi itu disembelih setelah seumur hidup diambil susu dan disuruh
kawin untuk kemudian diambil anaknya (setelah mati pun ia masih akan dimakan
dagingnya, kasihan betul). Kulitnya pun tidak ketinggalan pula diambil seorang
lelaki paruh baya dan diangkut ke sebuah bangunan yang besar sekali. Di sanalah
kulit si sapi, berarti ada aku di dalamnya, diolah menjadi gelatin.
Ah, jangan tanyakan tentang
proses pengolahannya. Rasanya panas dan sakit. Untung aku masih bisa bertahan. Aku
pun terpisah dari tetangga-tetanggaku, yang tidak lain merupakan keluargaku
juga. Sebagian besar dari kami masih hidup, namun ada juga yang mati alias
terdegradasi. Kampung kami yang awalnya solid, berupa struktur triple helix
yang megah, tercerai berai menjadi rantai yang tidak beraturan. Ada yang
menjadi rantai tunggal (para ilmuwan menyebutnya rantai alfa), ada yang berupa
rantai tunggal (disebut rantai beta), ada juga yang masih berupa triple helix
namun tidak lagi beraturan seperti dulu (rantai gama), namun jumlah rantai gama
sangat sedikit. Aku sendiri pasrah saja ketika nasib menghantarkanku berada pada
salah satu rantai alfa. Masih bersyukur aku tetap berpegangan tangan dengan
prolin dan hidroksiprolin. Sebelum diolah menjadi gelatin, selain bergandengan
denganku, si prolin dan hidroksiprolin sebenarnya berpacaran dengan molekul tetangga
di rantai lain atas jasa baik sebuah mak comblang, yaitu molekul air. Namun
nasib molekul siapa yang tahu, proses pengolahan yang tidak berkeperimolekulan
itu memisahkan cinta mereka. Sekarang siapa yang tahu keberadaan kekasih
mereka. Jangan-jangan mereka sudah mati. Ah, sudahlah. Yang penting jangan pernah
sebut-sebut kejadian itu lagi, kasihan mereka. Namun kami para molekul memang
tegar dan menurut saja apapun yang Diperintahkan Allah. Apapun yang terjadi,
yang penting tetap lakukan apa yang kami bisa. Itu saja.
Setelah menjadi gelatin,
pekerjaanku hanyalah duduk manis dalam sebuah stoples plastik. Suatu pagi
kucuri dengar pembicaraan manusia dalam bahasa Inggris, mereka berkata bahwa
aku akan dikirim ke Indonesia. Maka dimulailah hari-hariku melintasi benua.
Sayang stoplesku kedap cahaya, begitu pula kardus dan kontainer peti kemas yang
digunakan untuk mengangkutku. Aku jadi tidak bisa melihat-lihat jalan. Setelah
berhari-hari terus diguncang-guncang, akhirnya aku berakhir di sebuah lemari
tua, di sebuah ruangan tua yang menyeramkan. Setelah beberapa hari merenung dan
bertanya-tanya akan jadi apa aku nantinya, kurasakan bumi tempatku berdiri
berguncang. Rupanya ada seorang manusia yang memindahkan stoples tempatku
berada. Masih kuingat saat ia membuka stoplesku, kemudian membawaku keluar. Ia
memindahkanku di atas kertas. Oh, rupanya ia sedang menimbangku. DI sebelahnya
ada seorang manusia juga, mungkin temannya. Melihat kulit para manusia, aku
jadi sedih. Aku ingat masa laluku sebagai penyusun kulit sebuah makhluk juga,
meskipun beda spesies. Ah sudahlah. Mungkin ia akan memerlukanku untuk
penelitiannya, siapa tahu aku masih bisa berguna.
Setelah itu ia memasukkanku dalam
sebuah wadah kaca. Bukan, bukan stoples, karena wadah ini sempit sekali, alasnya
pun tidak rata melainkan berupa setengah lingkaran. Kemudian ia mengangkat
wadah ini dan menuangkan sesuatu. Sekonyong-konyong kulihat sebuah hidrogen
nemplok dengan seenaknya ke ujung amina milik alanin, yang kali ini mengalami
nasib sial. Kenapa pula aku yang berada di pinggir? Mungkin begitu keluhnya.
Manusia itu menggojog wadah kaca dan kini hampir semua gugus amina, hidroksil
dan segelintir sulfohidril menggandeng sebuah hidrogen. Hidrogen tampak puas,
sebaliknya molekul yang ditempelinya pasrah saja. Seperti sudah kukatakan tadi,
kami para molekul menurut saja dengan ketentuan dan nasib yang sudah digariskan
Allah.
Kemudian ia memasukkanku ke
sebuah kotak yang bau dan becek dimana-mana. Klek! Ia mengunci pintu kotak dan kemudian
sekelilingku menjadi gelap. Dimulailah petaka itu. Secara cepat dan pasti aku
merasakan peningkatan panas yang luar biasa. Tekanan juga naik. Prolin dan
hidroksiprolin kurasakan makin renggang dariku. Panas sekali…aku tidak tahan.
Akhirnya kami bertiga terpisah. Kulihat glutamin disana, lebih mengkhawatirkan
nasibnya dariku. Segera setelah ia lepas dari tetangganya, tubuhnya menekuk
seperti sangat kesakitan. Ia
tersiklisasi, artinya ia akan menjadi cacat dan tidak akan diakui lagi oleh
keluarga kami. Beberapa molekul lain pun mulai gelisah, beberapa diantaranya kacau,
menyerobot bagian tubuh molekul yang lain, semisal metionin, ia menyerang
sesamanya, membentuk raksasa metionin sulfonat yang tampak besar dan mengerikan.
Sesama pemilik atom sulfur, sistein, tak mau kalah. Ia membentuk tandingan,
raksasa sistin. Suasana kacau balau. Ada juga yang tubuhnya rusak permanen, dan
seperti nasib glutamin, ia tidak akan diakui lagi sebagai keluarga kami,
keluarga asam amino. Ahhh, aku mulai melantur begini, rasanya aku hampir tak
kuat. Aku terus berusaha bertahan. Namun kalaupun aku harus mati, aku ikhlas.
(12 jam kemudian)
Tiba-tiba suasana menjadi lebih tenang.
Sepertinya tekanan mulai menurun, demikian pula suhu disini. Suasana di dalam
wadah sempit ini lebih mirip suasana selepas peperangan. Molekul teroksidasi
bergelimpangan di dasar wadah, membentuk kerak hitam, bagai tumpukan mayat.
Merinding aku melihatnya. Ada juga yang rusak, sehingga tidak dapat kukenali
siapa dia dahulu.
Aku sendiri, sendirian. Benar-benar
sendirian. Sejak pertama kali aku lahir (maksudku ditranslasi), aku segera
digandengkan dengan prolin dan hidroksiprolin. Entah dimana mereka sekarang.
Aku melayang-layang tanpa tujuan. Ada atom hidrogen melekat di gugus aminaku,
ia turut kemana saja aku melayang-layang di dalam wadah ini. Aku tidak peduli. Di
sekitarku juga ada banyak asam amino yang masih selamat sepertiku, bahkan ada
pula yang masih bergandengan satu sama lain. Melihat mereka masih saja
bergandengan mesra, aku jadi teringat, dimana prolin dan hidroksiprolin? Ah,
belum pernah aku sesendiri ini.
Manusia yang kemarin memasukkanku
dalam kotak penyiksaan yang bau dan becek itu mengambil wadah kecil tempatku
berada. Aku tidak peduli. Ia kemudian menuangku ke dalam wadah yang lebih besar
dan meneteskan sesuatu. Tiba-tiba kulihat ion-ion hidroksil, berenang-renang
menggoda ion hidrogen yang menempel di gugus aminaku. Kurasa hidroksil jauh
lebih menarik daripada diriku karena si hidrogen tadi segera meninggalkanku
untuk bergabung bersamanya. Ah, memang sudah nasibku sendiri begini.
Belum selesai lamunanku, ia
meneteskan lagi sejumlah cairan melalui pipa aneh yang meruncing ujungnya.
Kulihat ion-ion timbal dengan ganas segera berikatan dengan rangkaian asam amino
yang masih saja bergandengan satu sama lain walaupun sudah dipanaskan. Segera
terbentuk endapan putih, menyeramkan sekali. Sepertinya ia marah karena
rangkaian asam amino itu tidak mau menurut saja dan melepaskan gandengan satu
sama lain saat dipanaskan tadi. Dengan ganas ia masih mencari-cari rangkaian
asam amino yang membandel, namun mendadak ia tenang setelah manusia tadi
memasukkan asam oksalat melalui pipa aneh lain yang lebih kecil dari pipa aneh
tadi.
Kemudian manusia itu memasukkanku
ke dalam sebuah alat dan dari ujungnya yang seperti gasing, aku keluar setelah
melewati saringan berukuran pori kecil. Kecil sekali porinya, endapan putih dan
kerak (mayat-mayat keluargaku T,T) tidak dapat melewatinya. Namun aku dapat
lolos dengan mudah dari saringan itu. Sekarang aku berada dalam tabung plastik
kecil yang lucu. Di sinilah aku dapat melihat dengan jelas, keluargaku. Setelah
kuamati satu persatu, mereka semua ada, kecuali glutamin. Membayangkan nasib
glutamin tadi, aku bergidik.
Manusia itu kemudian
memindahkanku ke sebuah botol kaca kecil berwarna cokelat. Kemudian, ia
memasukkan sesuatu. Kulihat sebuah molekul yang begitu cantik, belum pernah
kulihat ia sebelumnya selama hidupku. Ia memperkenalkan diri orthoftalaldehid.
Melihat atom karbon karboksilnya feminin, atom nitrogenku tak dapat menahan
diri untuk menggodanya. Sebenarnya ia masih memiliki satu atom karbon karboksil
lagi, yang tak kalah feminin dan menarik untuk kuincar, namun apa daya
nitrogenku hanya satu. Pun aku tak punya gugus lain yang cukup jantan untuk
menyerangnya. Tiba-tiba sebuah molekul lain muncul, tanpa basa-basi ia
memperkenalkan diri sebagai 2-merkaptoetanol dan menawarkan atom sulfurnya
untuk berikatan dengan OPA. Tanpa malu-malu, si OPA, demikian panggilan
sayangku padanya, menerimanya dengan suka cita. Aku tidak tinggal diam, aku pun
bereaksi dan tahu-tahu kami bertiga telah bergandengan. Namun agak berbeda
dengan gandengan tanganku bersama prolin dan hidroksiprolin dahulu, sekarang
kami melebur menjadi satu molekul yang kaku. Aku tak dapat bergerak bebas. Yah,
nasib molekul siapa yang tahu. Gara-gara kepincut dengan kecantikan si OPA aku
jadi begini. Ya sudahlah.
Kemudian melalui sebuah benda
yang aneh, aku disedot dan disuntikkan ke sebuah benda besar berbentuk elips.
Rupanya benda itu terdiri atas bola-bola yang berukuran seragam dan diiisikan
ke sebuah pipa. Permukaan bola itu berupa silika yang dilapisi rantai karbon,
masing-masing berjumlah 18 buah, sehingga tampak berekor. Ada juga silika yang
hanya ditutupi gugus hidroksil. Melihat rantai karbon yang lucu itu, aku jadi
tertarik untuk bergandengan dengannya, karena ada bagian molekulku yang juga
bersifat sama dengannya, sama-sama takut air. Molekul sejenisku pun ikut
berikatan. Walaupun mereka sudah bergabung dengan OPA dan 2-merkaptoetanol, aku
masih dapat mengenali mereka: asam aspartat, asam glutamat, asparagin, serin,
sistein, treonin, histidin, metionin, alanin, arginin, triptofan, valin,
leusin, isoleusin, dan lisin. Turunan asam aspartat, asam glutamat, dan
asparagin tampak kurang antusias bergandengan dengan rantai karbon itu, namun
sebaliknya kulihat turunan valin, leusin dan isoleusin terlihat sangat gembira
menggandeng rantai karbon itu dengan mesra.
Belum sempat aku mengamati lebih lanjut, tiba-tiba
kami diguyur suatu cairan. Tak ambil waktu, asam aspartat kepincut dengan
cairan itu dan segera melepaskan rantai karbon yang tadi dipegangnya sambil
malas-malasan. Asam glutamat segera mengikuti, diikuti asparagin, serin,
sistein dan histidin. Setelah histidin pergi, cairan itu menarikku. Metanol
dalam cairan itu menyuruhku untuk melepaskan peganganku dengan rantai karbon
yang kupegangi. Ternyata di dalam cairan itu ada pula ion asetat. Wah, aku jadi
ragu. Sebenarnya aku nyaman-nyaman saja berikatan dengan rantai karbon ini,
tapi metanol terus memaksaku. Ternyata ada molekul lain yang berpikiran sama
denganku. Dari strukturnya, aku tahu kalau ia turunan treonin. Makin lama,
makin banyak metanol yang memaksaku. Aku pun menyerah. Dengan berat hati
kuucapkan perpisahan pada rantai karbon tadi. Ia tampak sedih tapi seperti atom
dan molekul lain di muka bumi ini, ia pasrah saja. Turunan treonin pun
menyusulku, ia juga tidak tahan terus dirongrong oleh metanol. Kami mengalir
bersama-sama.
Sekarang ada sebuah lampu yang
menyorotkan cahaya padaku. Aku pun tereksitasi dan energiku naik. Beberapa saat
kemudian, tak dapat kutahan, aku ingin kembali seperti semula. Keadaan ini
tidak nyaman. Ah! Akhirnya berhasil, aku berhasil turun satu tingkat. Namun ini
belum cukup. Aku harus benar-benar kembali seperti semula. Dan aku terkejut
menyadari bahwa ketika aku berusaha menurunkan tingkat energiku lagi, aku
memancarkan sinar juga. Sinar ini berbeda dengan sinar tadi, lebih kecil
energinya, namun aku bersinar! Kulihat sebuah alat menangkap sinar itu, maka
dengan semangat aku semakin bersinar. Kulihat turunan treonin yang bersamaku
sejak keluar dari kolom berisi bola-bola kecil itu juga melakukan hal yang
sama. Tidak hanya itu persamaan diantara kami, rupanya kekuatan pancaran sinar
kami juga sama.
Dan tanpa kutahu, manusia tadi
memandangi layar komputer dengan gembira.
“Eureka! Glisin! Bersama dengan
treonin!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar