07/05/12

Cerita si Glisin


Aku merupakan suatu senyawa organik. Menurutku tidak ada yang spesial pada diriku, hanya aku memiliki dua bagian tubuh yang berlawanan satu sama lain. Salah satu dari mereka dapat melepaskan hidrogennya. Sebaliknya, ada bagian tubuhku yang dapat menangkap hidrogen. Namun kedua bagian tubuh itu kumanfaatkan untuk bergandengan dengan tetangga sejenisku, prolin dan hidroksiprolin. Seperti senyawa organik pada umumnya, aku disusun dari atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Ada juga sih anggota keluargaku (keluargaku artinya senyawa-senyawa lain yang katanya strukturnya mirip struktur molekulku), yang punya atom sulfur. Ah, tentang ini sih, bukan urusanku. Tuhan menyuruhku begini, aku ikut saja. Meskipun tidak punya atom sulfur, aku tetap bersyukur sudah ditakdirkan menjadi diriku seperti ini. Dalam kehidupan kali ini, Tuhan Menyuruhku untuk ikut andil dalam menyusun kulit seekor sapi. Sapi itu disembelih setelah seumur hidup diambil susu dan disuruh kawin untuk kemudian diambil anaknya (setelah mati pun ia masih akan dimakan dagingnya, kasihan betul). Kulitnya pun tidak ketinggalan pula diambil seorang lelaki paruh baya dan diangkut ke sebuah bangunan yang besar sekali. Di sanalah kulit si sapi, berarti ada aku di dalamnya, diolah menjadi gelatin.

Ah, jangan tanyakan tentang proses pengolahannya. Rasanya panas dan sakit. Untung aku masih bisa bertahan. Aku pun terpisah dari tetangga-tetanggaku, yang tidak lain merupakan keluargaku juga. Sebagian besar dari kami masih hidup, namun ada juga yang mati alias terdegradasi. Kampung kami yang awalnya solid, berupa struktur triple helix yang megah, tercerai berai menjadi rantai yang tidak beraturan. Ada yang menjadi rantai tunggal (para ilmuwan menyebutnya rantai alfa), ada yang berupa rantai tunggal (disebut rantai beta), ada juga yang masih berupa triple helix namun tidak lagi beraturan seperti dulu (rantai gama), namun jumlah rantai gama sangat sedikit. Aku sendiri pasrah saja ketika nasib menghantarkanku berada pada salah satu rantai alfa. Masih bersyukur aku tetap berpegangan tangan dengan prolin dan hidroksiprolin. Sebelum diolah menjadi gelatin, selain bergandengan denganku, si prolin dan hidroksiprolin sebenarnya berpacaran dengan molekul tetangga di rantai lain atas jasa baik sebuah mak comblang, yaitu molekul air. Namun nasib molekul siapa yang tahu, proses pengolahan yang tidak berkeperimolekulan itu memisahkan cinta mereka. Sekarang siapa yang tahu keberadaan kekasih mereka. Jangan-jangan mereka sudah mati. Ah, sudahlah. Yang penting jangan pernah sebut-sebut kejadian itu lagi, kasihan mereka. Namun kami para molekul memang tegar dan menurut saja apapun yang Diperintahkan Allah. Apapun yang terjadi, yang penting tetap lakukan apa yang kami bisa. Itu saja.

Setelah menjadi gelatin, pekerjaanku hanyalah duduk manis dalam sebuah stoples plastik. Suatu pagi kucuri dengar pembicaraan manusia dalam bahasa Inggris, mereka berkata bahwa aku akan dikirim ke Indonesia. Maka dimulailah hari-hariku melintasi benua. Sayang stoplesku kedap cahaya, begitu pula kardus dan kontainer peti kemas yang digunakan untuk mengangkutku. Aku jadi tidak bisa melihat-lihat jalan. Setelah berhari-hari terus diguncang-guncang, akhirnya aku berakhir di sebuah lemari tua, di sebuah ruangan tua yang menyeramkan. Setelah beberapa hari merenung dan bertanya-tanya akan jadi apa aku nantinya, kurasakan bumi tempatku berdiri berguncang. Rupanya ada seorang manusia yang memindahkan stoples tempatku berada. Masih kuingat saat ia membuka stoplesku, kemudian membawaku keluar. Ia memindahkanku di atas kertas. Oh, rupanya ia sedang menimbangku. DI sebelahnya ada seorang manusia juga, mungkin temannya. Melihat kulit para manusia, aku jadi sedih. Aku ingat masa laluku sebagai penyusun kulit sebuah makhluk juga, meskipun beda spesies. Ah sudahlah. Mungkin ia akan memerlukanku untuk penelitiannya, siapa tahu aku masih bisa berguna.

Setelah itu ia memasukkanku dalam sebuah wadah kaca. Bukan, bukan stoples, karena wadah ini sempit sekali, alasnya pun tidak rata melainkan berupa setengah lingkaran. Kemudian ia mengangkat wadah ini dan menuangkan sesuatu. Sekonyong-konyong kulihat sebuah hidrogen nemplok dengan seenaknya ke ujung amina milik alanin, yang kali ini mengalami nasib sial. Kenapa pula aku yang berada di pinggir? Mungkin begitu keluhnya. Manusia itu menggojog wadah kaca dan kini hampir semua gugus amina, hidroksil dan segelintir sulfohidril menggandeng sebuah hidrogen. Hidrogen tampak puas, sebaliknya molekul yang ditempelinya pasrah saja. Seperti sudah kukatakan tadi, kami para molekul menurut saja dengan ketentuan dan nasib yang sudah digariskan Allah.

Kemudian ia memasukkanku ke sebuah kotak yang bau dan becek dimana-mana. Klek! Ia mengunci pintu kotak dan kemudian sekelilingku menjadi gelap. Dimulailah petaka itu. Secara cepat dan pasti aku merasakan peningkatan panas yang luar biasa. Tekanan juga naik. Prolin dan hidroksiprolin kurasakan makin renggang dariku. Panas sekali…aku tidak tahan. Akhirnya kami bertiga terpisah. Kulihat glutamin disana, lebih mengkhawatirkan nasibnya dariku. Segera setelah ia lepas dari tetangganya, tubuhnya menekuk seperti sangat kesakitan.  Ia tersiklisasi, artinya ia akan menjadi cacat dan tidak akan diakui lagi oleh keluarga kami. Beberapa molekul lain pun mulai gelisah, beberapa diantaranya kacau, menyerobot bagian tubuh molekul yang lain, semisal metionin, ia menyerang sesamanya, membentuk raksasa metionin sulfonat yang tampak besar dan mengerikan. Sesama pemilik atom sulfur, sistein, tak mau kalah. Ia membentuk tandingan, raksasa sistin. Suasana kacau balau. Ada juga yang tubuhnya rusak permanen, dan seperti nasib glutamin, ia tidak akan diakui lagi sebagai keluarga kami, keluarga asam amino. Ahhh, aku mulai melantur begini, rasanya aku hampir tak kuat. Aku terus berusaha bertahan. Namun kalaupun aku harus mati, aku ikhlas.

(12 jam kemudian)

Tiba-tiba suasana menjadi lebih tenang. Sepertinya tekanan mulai menurun, demikian pula suhu disini. Suasana di dalam wadah sempit ini lebih mirip suasana selepas peperangan. Molekul teroksidasi bergelimpangan di dasar wadah, membentuk kerak hitam, bagai tumpukan mayat. Merinding aku melihatnya. Ada juga yang rusak, sehingga tidak dapat kukenali siapa dia dahulu.

Aku sendiri, sendirian. Benar-benar sendirian. Sejak pertama kali aku lahir (maksudku ditranslasi), aku segera digandengkan dengan prolin dan hidroksiprolin. Entah dimana mereka sekarang. Aku melayang-layang tanpa tujuan. Ada atom hidrogen melekat di gugus aminaku, ia turut kemana saja aku melayang-layang di dalam wadah ini. Aku tidak peduli. Di sekitarku juga ada banyak asam amino yang masih selamat sepertiku, bahkan ada pula yang masih bergandengan satu sama lain. Melihat mereka masih saja bergandengan mesra, aku jadi teringat, dimana prolin dan hidroksiprolin? Ah, belum pernah aku sesendiri ini.
Manusia yang kemarin memasukkanku dalam kotak penyiksaan yang bau dan becek itu mengambil wadah kecil tempatku berada. Aku tidak peduli. Ia kemudian menuangku ke dalam wadah yang lebih besar dan meneteskan sesuatu. Tiba-tiba kulihat ion-ion hidroksil, berenang-renang menggoda ion hidrogen yang menempel di gugus aminaku. Kurasa hidroksil jauh lebih menarik daripada diriku karena si hidrogen tadi segera meninggalkanku untuk bergabung bersamanya. Ah, memang sudah nasibku sendiri begini.

Belum selesai lamunanku, ia meneteskan lagi sejumlah cairan melalui pipa aneh yang meruncing ujungnya. Kulihat ion-ion timbal dengan ganas segera berikatan dengan rangkaian asam amino yang masih saja bergandengan satu sama lain walaupun sudah dipanaskan. Segera terbentuk endapan putih, menyeramkan sekali. Sepertinya ia marah karena rangkaian asam amino itu tidak mau menurut saja dan melepaskan gandengan satu sama lain saat dipanaskan tadi. Dengan ganas ia masih mencari-cari rangkaian asam amino yang membandel, namun mendadak ia tenang setelah manusia tadi memasukkan asam oksalat melalui pipa aneh lain yang lebih kecil dari pipa aneh tadi.

Kemudian manusia itu memasukkanku ke dalam sebuah alat dan dari ujungnya yang seperti gasing, aku keluar setelah melewati saringan berukuran pori kecil. Kecil sekali porinya, endapan putih dan kerak (mayat-mayat keluargaku T,T) tidak dapat melewatinya. Namun aku dapat lolos dengan mudah dari saringan itu. Sekarang aku berada dalam tabung plastik kecil yang lucu. Di sinilah aku dapat melihat dengan jelas, keluargaku. Setelah kuamati satu persatu, mereka semua ada, kecuali glutamin. Membayangkan nasib glutamin tadi, aku bergidik.

Manusia itu kemudian memindahkanku ke sebuah botol kaca kecil berwarna cokelat. Kemudian, ia memasukkan sesuatu. Kulihat sebuah molekul yang begitu cantik, belum pernah kulihat ia sebelumnya selama hidupku. Ia memperkenalkan diri orthoftalaldehid. Melihat atom karbon karboksilnya feminin, atom nitrogenku tak dapat menahan diri untuk menggodanya. Sebenarnya ia masih memiliki satu atom karbon karboksil lagi, yang tak kalah feminin dan menarik untuk kuincar, namun apa daya nitrogenku hanya satu. Pun aku tak punya gugus lain yang cukup jantan untuk menyerangnya. Tiba-tiba sebuah molekul lain muncul, tanpa basa-basi ia memperkenalkan diri sebagai 2-merkaptoetanol dan menawarkan atom sulfurnya untuk berikatan dengan OPA. Tanpa malu-malu, si OPA, demikian panggilan sayangku padanya, menerimanya dengan suka cita. Aku tidak tinggal diam, aku pun bereaksi dan tahu-tahu kami bertiga telah bergandengan. Namun agak berbeda dengan gandengan tanganku bersama prolin dan hidroksiprolin dahulu, sekarang kami melebur menjadi satu molekul yang kaku. Aku tak dapat bergerak bebas. Yah, nasib molekul siapa yang tahu. Gara-gara kepincut dengan kecantikan si OPA aku jadi begini. Ya sudahlah.

Kemudian melalui sebuah benda yang aneh, aku disedot dan disuntikkan ke sebuah benda besar berbentuk elips. Rupanya benda itu terdiri atas bola-bola yang berukuran seragam dan diiisikan ke sebuah pipa. Permukaan bola itu berupa silika yang dilapisi rantai karbon, masing-masing berjumlah 18 buah, sehingga tampak berekor. Ada juga silika yang hanya ditutupi gugus hidroksil. Melihat rantai karbon yang lucu itu, aku jadi tertarik untuk bergandengan dengannya, karena ada bagian molekulku yang juga bersifat sama dengannya, sama-sama takut air. Molekul sejenisku pun ikut berikatan. Walaupun mereka sudah bergabung dengan OPA dan 2-merkaptoetanol, aku masih dapat mengenali mereka: asam aspartat, asam glutamat, asparagin, serin, sistein, treonin, histidin, metionin, alanin, arginin, triptofan, valin, leusin, isoleusin, dan lisin. Turunan asam aspartat, asam glutamat, dan asparagin tampak kurang antusias bergandengan dengan rantai karbon itu, namun sebaliknya kulihat turunan valin, leusin dan isoleusin terlihat sangat gembira menggandeng rantai karbon itu dengan mesra. 

Belum sempat aku mengamati lebih lanjut, tiba-tiba kami diguyur suatu cairan. Tak ambil waktu, asam aspartat kepincut dengan cairan itu dan segera melepaskan rantai karbon yang tadi dipegangnya sambil malas-malasan. Asam glutamat segera mengikuti, diikuti asparagin, serin, sistein dan histidin. Setelah histidin pergi, cairan itu menarikku. Metanol dalam cairan itu menyuruhku untuk melepaskan peganganku dengan rantai karbon yang kupegangi. Ternyata di dalam cairan itu ada pula ion asetat. Wah, aku jadi ragu. Sebenarnya aku nyaman-nyaman saja berikatan dengan rantai karbon ini, tapi metanol terus memaksaku. Ternyata ada molekul lain yang berpikiran sama denganku. Dari strukturnya, aku tahu kalau ia turunan treonin. Makin lama, makin banyak metanol yang memaksaku. Aku pun menyerah. Dengan berat hati kuucapkan perpisahan pada rantai karbon tadi. Ia tampak sedih tapi seperti atom dan molekul lain di muka bumi ini, ia pasrah saja. Turunan treonin pun menyusulku, ia juga tidak tahan terus dirongrong oleh metanol. Kami mengalir bersama-sama.

Sekarang ada sebuah lampu yang menyorotkan cahaya padaku. Aku pun tereksitasi dan energiku naik. Beberapa saat kemudian, tak dapat kutahan, aku ingin kembali seperti semula. Keadaan ini tidak nyaman. Ah! Akhirnya berhasil, aku berhasil turun satu tingkat. Namun ini belum cukup. Aku harus benar-benar kembali seperti semula. Dan aku terkejut menyadari bahwa ketika aku berusaha menurunkan tingkat energiku lagi, aku memancarkan sinar juga. Sinar ini berbeda dengan sinar tadi, lebih kecil energinya, namun aku bersinar! Kulihat sebuah alat menangkap sinar itu, maka dengan semangat aku semakin bersinar. Kulihat turunan treonin yang bersamaku sejak keluar dari kolom berisi bola-bola kecil itu juga melakukan hal yang sama. Tidak hanya itu persamaan diantara kami, rupanya kekuatan pancaran sinar kami juga sama.
Dan tanpa kutahu, manusia tadi memandangi layar komputer dengan gembira.

“Eureka! Glisin! Bersama dengan treonin!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar